Waktu Imsak dalam Tinjauan Hukum Fikih
Tuban, PCNU Online
Imsak…! Imsak…!
Saban Ramadan, suara sebagai penanda akan berakhirnya waktu sahur itu selalu kita dengar. Dan seakan sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia di Bulan Suci. Kurang lengkap jika tidak ada suara imsak dari pengeras suara masjid maupun musala.
Nahdlatul Ulama (NU), melalui lajnah falakiyah telah membuat edaran secara resmi perihal jadwal imsakiyah, termasuk juga Kementerian Agama (Kemenag).
Oleh sebagian masyarakat, imsak menuai kritik dari sebagian tokoh muslim. Mereka menilai bahwa waktu imsak yang selama ini diberlakukan mayoritas umat Islam di Indonesia ini tidak memiliki dasar yang kuat, baik dari Alquran maupun hadis, bahkan ada yang menilai penetapan waktu imsak sebagai perbuatan yang mengada-ada (bid’ah) dan merupakan kebatilan, karena Rasulullah dan para sahabat tidak pernah melakukan itu, dan bertentangan dengan ketentuan waktu puasa dalam hukum fikih.
Pertanyaannya sekarang, apakah sebenarnya imsak itu? Benarkah penetapan waktu imsak merupakan perbuatan yang mengada ada, karena tidak punya landasan hukum yang jelas? Lalu kenapa imsak itu selalu diberlakukan oleh mayoritas umat muslim di Indonesia? Bagaimana sebenarnya penetapan waktu imsak dalam perspektif fikih?
Pengertian Imsak dan Dasar Penetapannya
Imsak dalam bahasa Arab memiliki arti menahan diri, sementara dalam terminologi fikih imsak adalah menahan diri dari semua hal yang membatalkan puasa. Jadi makna imsak sebenarnya adalah sama dengan puasa itu sendiri. Sebagian masyarakat memahami bahwa datangnya waktu imsak adalah awal dimulainya ibadah puasa. Pada saat itu, segala kegiatan makan minum dan lainnya yang membatalkan puasa disudahi hingga datangnya waktu magrib.
Diketahui, waktu imsak adalah waktu kira-kira 10 menit sebelum subuh. Namun demikian, sebagian masyarakat juga bertanya-tanya: benarkah waktu imsak sebagai tanda dimulainya puasa? Padahal dalam literatur fikih diterangkan bahwa puasa itu dimulai terbitnya fajar (subuh) sampai terbenamnya matahari (magrib). Lalu, bagaimana sesungguhnya fikih mengatur awal dimulainya ibadah yang termasuk salah satu rukun Islam ini?
Bila mencermati beberapa penjelasan para ulama dalam berbagai kitab, akan bisa dengan mudah diambil satu kesimpulan kapan sesungguhnya ibadah puasa itu dimulai, dan apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan waktu imsak.
Imam Al-Mawardi di dalam kitab Iqna’-nya menuturkan: “Waktu berpuasa adalah dari terbitnya fajar kedua (fajar shodiq) sampai tenggelamnya matahari. Akan tetapi (akan lebih baik bila) orang yang berpuasa melakukan imsak (menghentikan makan dan minum) sedikit lebih awal sebelum terbitnya fajar dan menunda berbuka sejenak setelah tenggelamnya matahari agar ia menyempurnakan imsak (menahan diri dari yang membatalkan puasa) di antara kedua waktu tersebut.”
Dr. Musthafa al-Khin dalam kitab Al-Fiqh Al-Manhaji menyebutkan: “Puasa menurut syara’ adalah menahan diri dari apa-apa yang membatalkan mulai dari terbitnya fajar sampai dengan tenggelamnya matahari disertai dengan niat.” (Musthafa al-Khin dkk, Al-Fiqh Al-Manhaji fil Fiqh As-Syafi’I, Damaskus: Darul Qalam, 1992, juz 2, hal. 73).
Sedangkan Sirojudin Al-Bulqini menyampaikan beberapa hal yang terkait dengan waktu imsak sebagai berikut: “Imsak adalah salah satu bentuk kehati-hatian agar supaya ketika kita sahur tidak masuk dalam waktu yang sudah dilarang untuk makan dan minum.”
Ada lagi pendapat dari sebgian ulama bahwa imsak sebelum datangnya subuh adalah wajib Jaryan ‘Alal Ihtiyaath Wa Saddan Lidzdzarii‘ah (memberlakukan atas kehati-hatian, dan menutup jalan yang bisa membuat batalnya puasa).
Imam Ibn Rusydi dalam kitab Bidayatul Mujtahid juz I halaman 232, cetakan Daar al Fikr, tahun 1415 H menerangkan:
والمشهور عن مالك وعليه الجمهور أن الأكل يجوز أن يتصل بالطلوع،
وقيل: بل يجب الإمساك قبل الطلوع.
والحجة للقول الأول ما في كتاب البخاري – في بعض رواياته – قال النبي -صلى الله عليه وسلم-: (وكلوا واشربوا حتى ينادي ابن أم مكتوم فإنه لا ينادي حتى يطلع الفجر) وهو نص في موضع الخلاف أو كالنص والموافق لظاهر قوله تعالى: {وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ}- الآية.
ومن ذهب إلى أنه يجب الإمساك قبل الفجر فجرياً على الاحتياط وسداً للذريعة وهو أورع القولين، والأول أقيس، والله أعلم:وقيل: بل يجب الإمساك قبل الطلوع
“Wa Qiila Yajibu Al Imsaaku Qablaththuluu’I” dan dikatakan: Wajib imsak (menahan diri untuk tidak melakukan hal yang membatalkan puasa) sebelum terbitnya fajar.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sendiri mengakhiri sahur kira-kira 50 ayat dari waktu subuh. Dalam Sahih Bukhari dijelaskan tentang bab yang menerangkan kadar kira-kira waktu antara sahur dan salat Fajar (subuh) sebagai berikut:
حدثنا مسلم بن إبراهيم حدثنا هشام حدثنا قتادة عن أنس عن زيد بن ثابت رضي الله عنه قال تسحرنا مع النبي صلى الله عليه وسلم ثم قام إلى الصلاة قلت كم كان بين الأذان والسحور قال قدر خمسين آية
“Dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Kami makan sahur bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau berdiri untuk melakukan shalat”. Anas bertanya kepada Zaid bin Tsabit: “Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?” Zaid menjawab: Kira kira 50 ayat.
Al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab karya nya yang monumental Fat-hul Bari Syarah Shohih Buchory menjelaskan:
قوله : ( باب قدر كم بين السحور وصلاة الفجر ) أي : انتهاء السحور وابتداء الصلاة
“Yang dimaksud jarak waktu antara adzan subuh dan sahur adalah waktu selesainya sahur dan mulainya waktu subuh.”
Imam Syafi’i dalam kitab al Umm juz II halaman 105, cetakan Dar al Fikr, tahun 1410 H, berkata:
وأستحب التأني بالسحور ما لم يكن في وقت مقارب يخاف أن يكون الفجر طلع فإني أحب قطعه في ذلك الوقت
“Aku senang (aku menilai mustahab/sunnah) untuk pelan-pelan/tidak tergesa-gesa dalam bersahur, selagi tidak sampai pada waktu yang mendekati (fajar/subuh) yang dikhawatirkan terbit fajar (jika terjadi hal demikian) aku senang menghentikan sahur pada saat sebelum subuh.
Tambahan dari hadis Bukhari di atas, Daar Ifta Mesir, mengutip fatwa Syeikh Hasanain Muhammad Makhluf:
ومن هذا يعلم أن الإمساك لا يجب إلا قبل الطلوع وأن المستحب أن يكون بينه وبين الطلوع قدر قراءة خمسين آية ويقدر ذلك زمنا بعشر دقائق تقريب
“Bahwasannya imsak itu tidak wajib kecuali sebelum terbitnya fajar, dan yang mustahab (sunnahnya) hendaknya antara sahur dengan terbitnya fajar kira-kira lima puluh ayat, dan hal itu dikira-kirakan kurang lebih 10 menit.”
Penjelasan dari para pakar hadis dan ulama fikih di atas sudah cukup untuk memberikan jawaban pada pertanyaan kita bahwa penetapan waktu Imsak sebelum subuh ternyata memiliki landasan hukum yang jelas, tidak mengada-ada, apalagi sampai dikatakan sesat.
Waktu Imsak Menurut Ilmu Falak dan Fikih
Dalam menetapkan waktu imsak para ahli falak (astronom) berbeda pendapat, ada yang menyatakan 10 menit sebelum terbitnya fajar shodiq—yang merupakan awal dari waktu subuh dan awal puasa, ada juga yang menetapkan 15 menit, bahkan ada yang menetapkan waktu imsak 20 menit sebelum subuh.
Perbedaan ini bermuara dari perbedaan pandangan ahli astronomi tentang ketinggian matahari pada waktu fajar shodiq yang masih di bawah ufuk, ada yang berpendapat 18, 19 dan 20 derajat.
Dalam prespektif fikih, fajar terbagi menjadi dua, yaitu fajar shodiq dan fajar kadzib. Fajar shodiq adalah fenomena cahaya kemerahan yang tampak dalam beberapa saat kemudian menghilang sebelum fajar shodiq, sedangkan fajar kadzib terjadi akibat hamburan cahaya matahari oleh debu-debu antar planet di ekliptika, sedangkan fajar shodiq adalah muculnya mega putih (cahaya terang) yang melintang di ufuk timur (Fathul Qorib karya Ibnu Qosim Al Ghozy). Fajar shodiq inilah waktu dimulainya puasa. Mengenai fajar shodiq ini sudah dijelaskan dalam Alquran surah Al Baqoroh ayat 187: “Makan dan minumlah kamu sehingga tampak jelas bagimu antara benang putih dan benang hitam yaitu fajar.”
Untuk mengetahui secara persis munculnya fajar shodiq (subuh) sangatlah sulit. Oleh karena itu, para ulama sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas menganjurkan untuk menghentikan makan dan minum serta semua hal yang membatalkan puasa, 10 menit sebelum munculnya fajar shodiq sebagai bentuk kehati-hatian agar tidak sampai menerjang waktu subuh. Penetapan waktu imsak semata untuk kehati-hatian (ikhtiyath) dalam menjalankan awal ibadah puasa, dan ini sangat diperlukan dalam rangka untuk menjauhkan kita dari kesalahan makan dan minum ketika waktu subuh sudah tiba.
Waktu Imsak yang telah ditetapkan oleh para ulama dan diamalkan oleh mayoritas muslim di Indonesia bukanlah waktu wajibnya mulai berpuasa, karena awal pelaksanaan ibadah puasa sudah sangat jelas diterangkan dalam kitab kitab fikih, yaitu terbitnya fajar shodiq (subuh), sehingga meskipun waktu imsak sudah tiba kita masih diperbolehkan makan dan minum sampai masuknya waktu subuh. Hanya saja, perlu kita ketahui bahwa ikhtiyath (kehati-hatian) dalam menjalankan ibadah itu sangat penting, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Ali Asshobuni dengan qoidah: “Umurul Ibadah Yanbaghi Fiiha Al Ikhtiyath.” (urusan ibadah sebaiknya harus hati-hati).
Alhasil, kita tidak perlu repot-repot menggugat waktu imsak yang selama ini telah ditetapkan oleh para ulama dan diamalkan oleh mayoritas kaum muslimin di Indonesia. Apalagi sampai menghukumi sesat. Menilai suatu permasalahan, apalagi menghukuminya haruslah benar-benar memahami hakikat dan tujuan dari permasalahan tersebut, agar kita tidak terjebak dengan dholla wa adholla (sesat dan menyesatkan).
Wallohu A’lam Bis Showwab
Allohumma Innaka ‘Afuwwun Kariim, Tuhibbul ‘Afwa Fa’fu’anna yaa Kariim. Semoga kita selalu mendapatkan maghfiroh dari Allah atas segala khilaf di bulan suci Romadan ini. Amiin.
Penulis: M. Arifuddin, S.Pd.I M.Pd. (Katib Syuriyah PCNU Tuban)