Remaja, Hafalan, dan Tekanan Mental: Tantangan Psikologis Santri di Pondok Pesantren Darul Ulum Khodijatul Kubro Widang Tuban

Tuban, PCNU Online
Di tengah kesibukan kehidupan modern, pondok pesantren tetap menjadi simbol pendidikan agama yang abadi. Di lokasi-lokasi tersebut, nilai-nilai mulia diajarkan, dan generasi penghafal Al-Qur’an dan kajian kitab-kitab salaf dibentuk. Salah satu lembaga yang kuat mempertahankan tradisi ini adalah Pondok Pesantren Darul Ulum Khodijatul Kubro di Desa Widang, Kecamatan Widang, Kabupaten Tuban.
Di bawah bimbingan KH Muhammad Ma’ruf Zuhdi, pesantren ini telah melahirkan banyak santri berprestasi. Namun, di balik kesuksesan dan kekhusyukan suasana pesantren, terdapat suatu kenyataan psikologis yang perlu diperhatikan: stres mental yang sering dialami oleh santri muda, terutama dalam menjalani proses hafalan Al Qur’an san kitabnya yang intensif.
Mengulas lebih mendalam fenomena ini, menekankan beban psikologis yang mungkin dialami oleh santri, dengan mengambil contoh konkret dari pengalaman Ihsan Oktora, seorang santri yang berusia 16 tahun. Dengan perspektif psikologi remaja, kita akan berupaya memahami kompleksitas tantangan ini, serta memberikan solusi dan rekomendasi konstruktif untuk menciptakan lingkungan pesantren yang lebih mendukung kesehatan mental para santri.
Di Pondok Pesantren Darul Ulum Khodijatuk Kubro ini adalah tempat saya menempah ilmu dan tempat saya observasi sederhana tentang dunia psikologi remaja. Pondok Pesantren ini dikenal sebagai tempat yang mencetak generasi penerus ulama dam mubaligh yang memiliki jiwa kebangsaan.
Namun, di balik kokohnya dinding pondok pesantren ini, terdapat tantangan psikologis yang kerap kali terabaikan, yakni beban mental yang dirasakan para santri muda, khususnya dalam menghafal Al Quran. Di pondok pesantren inilah saya melakukan pengamatan sederhana tentang dunia psikologi remaja.
Ihsan Oktora adalah seorang remaja berusia 16 tahun santri dari pesantren ini dari pesantren ini. Ihsan mempunyai tujuan hafalan yang serius, berbeda dengan santri lainnya, Setiap hari, saya mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan kualitas bacaannya, meninjau (mengulang) hafalan lama, meninjau dan menambah hafalan baru. Dari sudut pandang psikologis remaja, situasi ini mungkin memunculkan berbagai respons emosional dan kognitif yang kompleks.
Beban Kognitif dan Emosional yang Berat
Proses mempelajari Al-Qur’an dan hafalan kitab memerlukan konsentrasi tingkat tinggi, disiplin diri yang baik dan daya ingat kuat. Beban kognitif ini bisa sangat merangsang energi bagi remaja seperti Ihsan, yang otaknya masih mengalami perkembangan yang cepat. Kecemasan dan stres seringkali disebabkan oleh dorongan untuk mengurangi tujuan hafalan.
Misalnya, bila Ihsan kesulitan mengingat ayat tertentu, ia mungkin mengalami kecemasan atau frustrasi berlebihan saat merasa ingatannya cepat memudar. Selain itu, tekanan sosial juga ada di pesantren, penguasaan hafalan Al-Qur’an kerap dijadikan tolok ukur kemajuan dan keberhasilan seorang santri.
Perasaan rendah diri, kurang percaya diri, dan bahkan depresi dapat timbul akibat membandingkan siswa dengan teman sebaya yang lebih cepat atau memiliki lebih banyak hafalan. Mereka mungkin berpikir bahwa jumlah atau kualitas ingatan mereka bergantung pada seberapa baik mereka mengingatnya.
Dampak pada Kesejahteraan Mental Remaja
Jika tekanan ini tidak ditangani dengan baik, dapat berdampak pada berbagai aspek kesejahteraan mental remaja. Menurut penelitian yang dilakukan oleh remaja tentang psikologi, beberapa sinyal yang dapat diamati antara lain:
- Gangguan Tidur. Karena pikiran Ihsan terus memikirkan hafalan atau tujuan, dia mungkin mengalami kesulitan tidur atau tidur tidak nyenyak.
- Perubahan nafsu makan. Mungkin ada penurunan atau peningkatan nafsu makan yang signifikan.
- Penurunan motivasi. Menurunnya dorongan untuk berinteraksi sosial atau belajar bisa terlihat jelas.
- Gejala fisik. Stres seringkali menyebabkan sakit kepala, sakit perut, atau kelelahan tanpa sebab medis yang jelas.
- Menarik diri dari sosial. Enggan berinteraksi dengan teman atau mengambil bagian dalam kegiatan yang tidak menggunakan bahasa resmi.
- Peningkatan kewaspadaan. Bahkan hal kecil pun dapat membuat Anda marah atau jelek.
Dalam kasus Ihsan, mungkin ia menunjukkan beberapa gejala di atas, meskipun tidak selalu kentara bagi orang awam. Observasi psikologis yang cermat dari pengasuh dan pembimbing sangat penting untuk mengidentifikasi santri yang sedang berjuang.
Menciptakan Lingkungan yang Mendukung
Sangat penting bagi masa depan santri remaja untuk memahami dan mengatasi tekanan psikologis yang alami mereka. Pesantren memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental santri, meskipun masalah ini nyata.
Beberapa tindakan yang dapat diambil antara lain: Pendekatan Individu: Pengasuh dan pembimbing harus lebih peduli dengan kondisi unik setiap santri. Tujuan hafalan dapat disesuaikan dengan kemampuan individu, bukan hanya standar umum.
Banyak santri remaja, seperti Ihsan Oktora, menghadapi tekanan mental selama menghafal Al-Qur’an dan kitab di pesantren. Hal ini dapat menyebabkan kecemasan, stres, dan bahkan berdampak negatif pada kesehatan mental mereka. Namun pesantren dapat mewujudkan lingkungan yang baik untuk pendidikan agama dan kesehatan mental santrinya dengan memahami psikologi remaja dan menerapkan strategi yang tepat.
Santri akan dibantu tidak hanya berhasil dalam hafalan tetapi juga menjadi orang yang sehat secara mental, tangguh, dan siap menghadapi tantangan hidup di masa depan dengan menerapkan pendekatan yang lebih individual, memberikan edukasi psikologi, menciptakan lingkungan aman untuk berbagi, dan mendorong keseimbangan antara belajar dan kreatif.
Fokusnya tidak hanya pada hasil hafalan, namun pada proses belajar yang signifikan dan pertumbuhan pribadi secara keseluruhan. Ini akan menghasilkan generasi baru penghafal Al-Qur’an dan kitab yang memiliki jiwa dan akal yang kuat.
Penulis: Mukhlis, Mahasiswa IAINU Tuban.