Tuban, PCNU Online
Sepanjang sejarah puasa bulan Ramadan yang pernah kita lalui, tak jarang masih saja kita temui pertanyaan beredar di masyarakat, yang di antaranya mengkritisi kembali lafal niat antara Ramadhana atau Ramadhani.
Meskipun kesalahan membaca lafal niat sebenarnya tidak sampai merusak konsekuensi hukum puasa seseorang, akan tetapi apabila ditinjau secara ilmu nahwu (gramatikal arab) memang rasanya kurang pas dan kurang tepat apabila terdapat harakat yang tidak sesuai. Terlebih jika kita menilik pada rumus dasar dalam bahasa Arab yang mengatakan bahwa apabila terdapat perubahan satu harakat dalam satu huruf saja, maka akan dapat merubah seluruh arti lafal.
Oleh karena itu, perlu adanya kajian secara komprehensif untuk memberikan kepastian kepada masyarakat dalam membaca lafal Ramadhan secara benar yang sesuai dengan kaidah ilmu nahwu.
Sebelum membahas lebih detail terkait permasalah lafal niat tersebut, maka alangkah baiknya jika kita mengenal terlebih dahulu status dari lafal Ramadhan itu sendiri. Lafal Ramadhan sejatinya masuk dalam golongan Isim Ghairu Munshorif, yaitu isim yang serupa dengan fi’il. Sehingga apabila dalam kondisi i’rob jer, maka alamat jer-nya adalah menggunakan harakat fathah, sehingga akan terbaca Ramadhana. Namun, apabila isim tersebut disandarkan kepada lafal setelahnya (di-idlofahkan) atau ia kemasukan huruf alif-lam sebelumya, maka tanda i’rob jer-nya akan berubah menjadi menggunakan kasrah, sehingga terbaca Ramadhani. Hal ini didasarkan kepada pendapat Ibnu Malik dalam bait Alfiyah ke-44.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pelafalan niat yang benar adalah sebagai berikut: “Nawaitu Shouma Ghodin ‘An Adaa-I Fardhi Syahri Romadhooni Hadhihis-Sanati Lillaahi Ta’ala.”
Redaksi lafal niat yang demikian juga dapat ditemukan dalam Kitab I’anatu at-Tholibin, juz 2 halaman 253. Meski demikian, ternyata ada pula pendapat yang mengatakan bahwa lafal Ramadhan dapat juga dibaca fathah menjadi Ramadhana. Hal ini dengan catatan apabila lafal hadzihis sanah juga harus turut dibaca fathah. Sehingga lafal niatnya akan menjadi: “Nawaitu Shouma Ghodin ‘An Adaa-I Fardhi Syahri Romadhoona Hadhihis-Sanata Lillaahi Ta’ala.”
Hal ini sebagaimana tercantum dalam Kitab Kasyifatussaja halaman 7. Akan tetapi, yang cukup disayangkan adalah ketika redaksi niat yang banyak beredar di tengah-tengah masyarakat ternyata malah menggunakan lafal niat Romadhona Hadhihis-Sanati. Membaca fathah pada lafal Ramadhan sementara pada lafal Hadzihis sanah dibaca kasroh. Lafal niat yang seperti itu bisa dikatakan kesalah besar. Sebab, secara ilmu gramatika bahasa Arab tidak ada jalur pijakannya.
Lalu, bagaimana dengan hukum puasanya jika redaksi niatnya salah? Hukum puasanya tetap sah walaupun terjadi kesalahan dalam membaca harakat di dalam lafal niatnya. Sebab, sejatinya letak niat itu adalah di dalam hati. Dan yang pasti, kedua lafal niat puasa, baik Ramadhana maupun Ramadhani, keduanya sama-sama boleh dan tidak berkonsekuensi pada perubahan atau perbedaan makna niat puasa dalam batin masyarakat Indonesia.
Penulis: Yayuk Siti Khotijah (Duta Santri Nasional 2021)
Editor: Ahmad Atho’illah