ArtikelTAFSIR

Niat Ingkar Janji Berkedok Insyaallah, Penjelasan QS. Al-Kahfi (18): 23-24

Tuban, PCNU Online
Ketika kita akan mengadakan suatu agenda yang melibatkan orang lain, maka di sana biasanya dibutuhkan suatu perjanjian untuk bekerja dan kumpul bersama. Setiap dari pribadi yang diajak atau diundang dalam suatu agenda biasanya ada yang bisa dan tidak. Terkadang, beberapa di antara mereka tidak menyatakan secara jelas (sharih) bisa tidaknya, mereka hanya mengatakan “Insyaallah”.

Maka dari itu, terkadang ungkapan Insyaallah tanpa disertai keterangan bisa tidak ini menjadi misterius bagi orang lain. Akhirnya kehadiran atau kesanggupan dari orang yang mengatakan tersebut bisa menjadi suatu kerancuan tersendiri.

Mengatakan Insyaallah (arti: jika Allah menghendaki) merupakan hal yang sudah diajarkan kepada banyak umat Islam, bahwa karena manusia tidak memiliki kekuasaan mutlak atas dirinya, dan yang memiliki kekuasaan adalah Allah subhanahu wa ta’ala, dari hal inilah salah satunya kenapa kalimat tersebut sering diucapkan.

Landasan mengungkapkan kalimat tersebut juga terdapat dalam Firman Tuhan:

وَلَا تَقُوْلَنَّ لِشَا۟يْءٍ اِنِّيْ فَاعِلٌ ذٰلِكَ غَدًاۙ ۝٢٣ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُۖ

Artinya: “Jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, “Aku pasti melakukan hal itu besok, ”kecuali (dengan mengatakan), “Insyaallah”. (QS. al-Kahfi 23-24).

Tafsir Ayat

Menurut Quraish Shihab, di dalam ayat tersebut terdapat kandungan ajaran kepada Nabi Muhammad saw, ﷺ dan umatnya, bahwa ketika akan mengerjakan sesuatu yang besar, bahkan kecil sekalipun tidak diperkenankan untuk mengklaim dan menentukan bahwa kepastian untuk mengerjakan tersebut mutlak dari dirinya tanpa melibatkan kuasa Allah subhanahu wa ta’ala.

Artinya, kehendak dan tekad untuk melakukan sesuatu itu tidak lepas dari kehendak dari Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, Nabi Muhammad saw, ﷺ diperintahkan untuk mengucapkan Insyaallah. Karena tidak ada daya meraih kemanfaatan dan menghindari kerusakan kecuali dari Allah. (Quraish Shihab, Islam yang Disalahpahami, [Tangerang, Lentera Hati, 2018], hlm. 265).

Quraish Shihab juga mengemukakan penafsiran yang berbeda, yakni bukan tentang larangan menentukan untuk melakukan sesuatu tanpa mengucapkan “Insyaallah”. Namun, ia menguraikan bahwa ayat tersebut bermakna larangan menentukan sesuatu yang di luar kehendak Allah berupa kebaikan dan ketaatan.

Artinya, ayat tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa kita jangan mengucapkan sesuatu untuk akan melakukan suatu hal, kecuali hal ketaatan.

Ada pemahaman lain lagi bahwa ayat tersebut menyatakan bahwa kita jangan mengucapkan akan melakukan sesuatu kecuali Allah menghendaki ucapan itu. Pemahaman ini dominan menganggap bahwa kehendak Allah yang dimaksud adalah kehendak atas ucapan manusia.

Selain dari ayat tersebut, kalimat Insyaallah terdapat dalam QS. Al-Baqarah (2): 70, QS. Al-Kahfi (18): 69, QS. Al-Qashash (28): 27, dan QS. Al-Fath (48): 27.

QS. Al-Baqarah (2): 70 menerangkan bahwa Bani Israil saat diperintahkan untuk menyembelih sapi, mereka mengajukan berbagai pertanyaan juga mengucapkan “Insyaallah”. QS. Al-Kahfi (18): 69 menerangkan bahwa ketika Nabi Musa as berharap kepada Khidir untuk dapat diajar, dan ketika Nabi Musa dianggap tidak akan mampu sabar, Nabi Musa menjawab “Engkau, Insyaallah akan menemukan aku sebagai sosok yang sabar.”

QS. Al-Qashash (28): 27 menerangkan bahwa ketika Nabi Musa as saat menjawab pinangan Nabi Syuaib as untuk mengawinkannya dengan salah satu putrinya dengan mahar bekerja kepada keluarga Nabi Syuaib as dalam jangka waktu delapan atau sepuluh tahun, di sana Nabi Musa as mengucapkan “..aku insyaallah termasuk dari orang-orang saleh.”

QS. Al-Fath (48): 27. Meyakinkan bahwa para Sahabat Nabi yang diajak ke Hudaibiyah pasti akan memasuki Masjidil Haram –Insyallah- dalam keadaan aman. Dalam hal ini Allah sendiri yang mengatakan Insyaallah.

Apakah Insyaallah Bisa Digunakan Alasan Untuk Ingkar Janji?

Dari penjelasan di atas bisa dipahami bahwa kalimat Insyaallah tidak hanya diungkapkan oleh manusia, tapi juga Allah sendiri. Oleh karena itu, Insyaallah ini bukan berarti bermakna bahwa pengucap itu tidak yakin dengan apa yang akan terjadi atau apa yang akan dilakukan di masa mendatang.

Secara logis akan mustahil, jika Allah mengatakan Insyaallah dikarenakan tidak yakin terhadap kondisi masa mendatang. Tentu meskipun Allah mengatakan kalimat demikian, Dia tetap yakin dan mengetahui segalanya, termasuk kondisi mendatang – setidaknya dalam pandangan teologi Sunni.

Begitu juga ketika diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka kata Insyaallah tidak selalu menjadi simbol sikap keraguan kita terhadap suatu hal di masa mendatang. Kita boleh saja yakin dan mengatakan Insyallah, sebagai sikap tawakkal kita terhadap Allah, bahwa di atas kehendak manusia masih ada kehendak Allah.

Ketika kita dalam kondisi yang mengharuskan berjanji dengan orang lain. Meskipun kita mustahil tahu segalanya di masa mendatang, setidaknya kita harus tegas bisa atau tidaknya, kalaupun ragu, kita harus menyampaikannya keraguan itu juga, dan semua itu baiknya disertai ungkapan Insyaallah.

Dikarenakan kita harus tegas atau terbuka terhadap hal perjanjian, maka mengatakan Insyaallah itu tidak bisa digunakan sebagai kedok untuk niat beringkar janji, karena kendati mengucapkan Insyaallah itu diperintahkan, ingkar janji sendiri merupakan suatu larangan yang menghindarinya juga diperintahkan. Wallahua’lam…

Penulis: Izzulhaq At Thoyyibi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button