BeritaLembaga NUNu NewsWARTA

LAKPESDAM PCNU Tuban dan Bung Bin: Bincang Buku ‘Historiografi, Khittah, dan Politik NU’

Tuban, PCNU Online
Nahdlatul Ulama (NU) selalu memiliki strategi politik yang konsisten dari waktu ke waktu. Bukan untuk kepentingan golongan atau individu tertentu, melainkan untuk memperjuangkan politik berbasis keagamaan dan kebangsaan, dengan tujuan utama mencapai kemaslahatan dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Untuk memperkuat politik dan peran NU, Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM) PCNU Tuban mengadakan bincang buku dengan tema, “Peran Warga Nahdliyin untuk Menghadapi Pilkada 2024 dalam Kajian Buku Ngaji Khittah NU,” karya KH Ahmad Baso Kantor PCNU Tuban pada Ahad (01/09/2024).

Ketua LAKPESDAM, Aam Waro’ Panotogomo, menyatakan bahwa penyelenggaraan kajian ini merupakan bagian dari rencana besar untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) kader NU di bidang politik. Di era kemajuan ini, kader NU tidak boleh terbawa arus tanpa arah.

“NU itu tidak kemana-mana, tapi kadernya ada di mana-mana. Sehingga ketika pada setiap momen apapun, kita harus selalu siap siaga. Contoh saja pada tahun 2024 ini kita memasuki Pilkada, jangan sampai warga nahdliyin hanya menjadi penonton atau penggembira. Karena basis besar NU punya efek luar biasa pada tatanan politik keumatan,” ungkap Gus Aam.

Gus Aam menambahkan bahwa politik sering kali didominasi oleh sikap pragmatis yang memisahkan antara kawan dan lawan. Namun, NU memiliki strategi politik yang lebih berlandaskan moralitas untuk menjaga kesatuan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kader NU harus selalu berpikir dalam kerangka tersebut, bukan hanya sekadar berpikir praktis.

“Level politik kita itu sudah tinggi. Jadi jangan jadi kader NU yang baper soal pilihan jalan politik. Yang terpenting adalalah, meskipun beda pilihan, kembalinya demi kepentingan NU. Sehingga jangan sampai pertahan kita jebol gara-gara politik yang tidak mendewasakan,” tegas Gus Aam.

Sekretaris PCNU, Miftahul Asror, menyampaikan bahwa hari ini muncul dua pertanyaan penting: apakah NU hanya akan menjadi pengeras suara ataukah akan menjadi pemain strategis? Jika NU ingin menjadi pemain strategis, maka diperlukan strategi yang matang untuk benar-benar berperan. Seperti yang dikatakan Gus Dur, politik adalah seni tipu-menipu. Oleh karena itu, jika kader NU ingin terjun dalam persaingan politik, mereka harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik.

“Kita siapkan kader NU dalam posisi strategis. Oleh sebab itu, siapkan kader NU sesuai degan kapasitasnya. NU milik bersama, jadi harus dipikirkan bersama. Kita tahu bahwa, diskusi atau tabayun itu penting. Jangan sampai akibat perbedaan paradigma, NU dipecah dan dikuyo-kuyo oleh orang yang tidak bertanggungjawab,” tandas KIai Miftah.

Dalam acara bincang buku “Historiografi, Khittah dan Politik NU”, Yai Miftah menyampaikan bahwa mendukung NU seharusnya dilakukan dengan kerja kolektif, bukan secara parsial. NU tidak boleh terpisah dari arus utama. Jika hal itu terjadi, cita-cita para pendiri NU dan bangsa ini akan sulit terwujud.

“Nah, kalau ada hal yang patut kita diperjuangkan benar-benar. Maka yang mesti kita lakukan adalah membangun mindset kader dan warga nahdliyin betapa pentingya menjaga khittah NU. Dalam hal ini tentang politik keumatan. Tentua demi tegaknya agama dan bangsa. Jika pada posisi rumit, mari kita bergandengan tangan untuk menemukan jalan keluar, untuk NU dan masyarakat secara umum. Tidak dapat dipungkiri bahwa, setiap momen kontestasi politik. NU selalu menjadi penentu, namun setelah itu ditinggalkan. Jangan sampai kita di sebrang jalan,” pesan Kiai Miftah.

Bung Mutholibin, sebagai pemantik diskusi, menambahkan bahwa tujuan dari bincang buku ini adalah untuk membangun dan memahami Khittah NU secara utuh. Dengan demikian, cara pandang kader dan warga Nahdliyin tidak akan terpecah dalam memahaminya. Meskipun efek dari diskusi buku ini mungkin tidak langsung terlihat, pengetahuan yang diperoleh akan muncul ketika dibutuhkan.

“Kita tahu bahwa Pak Basho adalah tokoh NU, aset NU yang mampu menjaga manuskrip NU. Bagaimana penulis ingin menunjukan bahwa politik NU itu levelnya tidak sembarangan. Dari mulai khittah NU 1926, para kiai NU masih konsiten sampai hari ini. Siapa bilang NU tidak berpolitik? Namun politik yang diamalkan adalah keagamaan dan kebangsaan. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh PBNU tidak terlepas dari kepentingan umat. Sehingga ketika pada masa kepemimpinan Orde Baru, Presiden Soeharto. NU terus melakukan gerakan perlawanan. Nah itu adalah bagian dari perjuangan NU,” penjelasan Bung Bin.

Mengambil peran atau ditinggalkan oleh politisi yang tidak bermoral adalah pilihan. Semua tokoh NU harus mengingat bahwa naskah yang ditulis oleh KH Achmad Siddiq mendapat sambutan dan penghargaan luar biasa karena menjadi konsep dasar “kembali ke khittah” pada Munas NU tahun 1983 di Situbondo, Jawa Timur. Naskah ini disusun setahun sebelum digelarnya Muktamar ke-27 NU di tempat yang sama, yaitu di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, dan kemudian menjadi dokumen resmi Munas sebagai dasar perumusan Khittah Nahdliyah.

“KH Achmad Siddiq menegaskan bahwa Khittah NU tidak hanya dirumuskan berdasarkan teori saja, namun berdasarkan pengalaman yang sudah berjalan di NU selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Tujuan kembali ke khittah juga selain mengembalikan organisasi pada rel awal pendirian organisasi, kepentingan bangsa dalam setiap keputusan organisasi juga dijunjung tinggi karena pokok pikiran dalam rumusan khittah memuat unsur keagamaan, sosial-kemasyarakatan, kebangsaan, kepemimpinan ulama, dan ke-Indonesian,” pungkasnya.

Perlu diketahui bahwa kegiatan bincang buku ini akan menjadi agenda rutin yang akan dilaksanakan secara paralel dari tingkat PCNU hingga WCNU. Dengan demikian, pemahaman tentang Historiografi, Khittah, dan Politik NU dapat dipahami secara menyeluruh, baik secara struktural maupun kultural.

Dalam bincang buku tersebut, hadir Ketua LAKPESDAM PCNU Tuban Aam Waro’ Panotogomo, Sekretaris PCNU KH Miftahul Asror, Bung Mutholibin sebagai pemantik, serta beberapa perwakilan dari banom dan lembaga NU.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button