Menyemai Welas

Tuban, PCNU Online
“Berikan kabar gembira kepada para pendosa dan berilah kabar ancaman kepada para ahli ibadah.”
Demikian kata Allah kepada Nabiyulllah Dawud AS dalam Risalatul Mu’awanah karya Syekh Assayyid Abdullah b. Alawi al Haddad. Mendengar dawuh Allah demikian, Dawud serasa kaget dan kemudian balik bertanya, bagaimana bisa orang-orang pendosa diberi kabar gembira, sedangkan orang-orang ahli ibadah dikabarkan ancaman. Allah pun memberikan penjelasan, kabar gembiranya bagi para pendosa bahwa Allah senantiasa mengampuni dosa-dosanya selama para pendosa mau bertaubat. Sedangkan bagi orang ahli ibadah, amal ibadahnya tidak akan bernilai apa pun jika diiringi dengan rasa ujub (menyombongkan diri atas kesalehan yang dilakukannya).
Dialog di atas memberikan pemahaman bahwa ibadahku dan ibadahmu bukanlah menjadi jaminan perolehan rahmat-Nya dan rida-Nya. Begitu juga dosaku dan dosamu belum tentu mengantarkan ghadhab (benci) Allah selama diikuti taubat dan penyesalan. Sama-sama harus menempuh satu tangga lagi untuk mendapatkan rahmat dan rida-Nya. Bagi pendosa tangga berikutnya yang harus dilalui adalah bertaubat, sedangkan bagi pelaku kesalehan tangga berikutnya yang harus dilalui adalah tidak menyombongkan diri dengan kesalehannya (Jawa: andhap-ashor dan Arab: tawadhu’).
Jika diluaskan pemaknaannya, tawadhu’ dan andhap-ashor bisa punya dua konteks, yaitu tawadhu’ kepada Allah dan kepada manusia atau keseluruhan makhluk. Tawadhu’ kepada Allah merupakan bentuk pengakuan lemah manusia di hadapan Tuhannya. Merasa tidak memiliki kekuatan apa pun kecuali atas rahmat Allah. Sedangkan tawadhu’ kepada manusia atau keseluruhan makhluk adalah bentuk pengakuan seseorang bahwa orang lain lebih baik dari dirinya. Syekh Abdul Qadir al Jilani oleh Kiai Nawawi b. Umar Al Jawi dalam karyanya Nashaihul Ibad disebutkan bahwa tawadhu harus dilakukan kepada Tuhannya dan kepada makhluk.
Dalam catatan Kiai Nawawi dijelaskan, ketika Syekh Abdul Qadir al Jilani melihat orang gila, dalam pandangannya, orang gila lebih baik dari dirinya karena orang gila tidak dikenai hukum syara’ ketika melakukan perbuatan apa pun, termasuk melakukan kejahatan sekalipun. Sementara Syek Abdul Qadir dikenai hukum syara’ setelah aqil baligh (berakal dan masuk usia dewasa).
Begitu juga ketika melihat orang yang usianya lebih tua (meski tidak saleh), Syekh Abdul Qadir punya anggapan bahwa orang yang usianya lebih tua hidup di dunia lebih lama dibanding dirinya, karenanya ia meyakini kebaikan-kebaikannya akan jauh lebih banyak dari kebaikan dirinya. Bahkan, ketika melihat para penjahat dan gelandangan, Syekh Abul Qadir masih punya pandangan bahwa bisa jadi penjahat dan gelandangan itu meninggalnya lebih baik dari dirinya. Karena tidak sedikit orang yang kelihatan dalam hidupnya beramal saleh, matinya tidak baik, seperti Bal’am b, Baura’ (umat Nabiyullah Musa). Sebaliknya ada juga yang jahat, tetapi ketika menjelang ajalnya taubat dan meninggalnya dalam keadaan baik, seperti Utbah al Ghulam.
Bagaimana dengan generasi era digital yang ditandai dengan bebasnya berpendapat dengan salah satu kecenderungannya membenarkan pendapatnya sendiri dan kelompoknya, sementara kelompok lain selalu disalahkan dan didudukkan pada posisi rendah dan tidak terhormat. Sebagai anak bangsa patut mengambil satu ibrah (pelajaran) berharga pada kisah Syekh Abdul Qadir agar tidak mudah merendahkan dan menganggap remeh orang. Dan, sebaliknya justru dirinya sendiri yang dianggap masih kurang dibanding orang lain.
Menempatkan diri pada posisi rendah memang sulit, karena sesungguhnya naluri setiap orang adalah ingin dipuji, ingin ditinggikan, dan tidak ingin direndahkan dan eksistensinya ingin dilihat orang lain. Tetapi ketika sikap ingin dipuji, ingin ditinggikan dan tidak ingin direndahkan menghinggapi manusia, maka yang terjadi adalah manusia akan menjadi kanibal. Manusia akan dengan mudah mengorbankan manusia lainnya—tanpa ada rasa salah dan dosa. Maka, sebaiknya di era digital dibarengi dengan cara berpikir, “Dipuji tidak terbang, dihina tidak tumbang.”
Jika anak bangsa bisa mengambil kehidupan Syekh Abdul Qadir menjadi ibrah dan cara berpikir dan berperilaku, maka dipastikan terjadi persemaian rasa welas pada anak bangsa akan lahir bangsa yang aman dan damai karena akan lahir generasi bangsa yang saling menghormati, generasi bangsa yang memiliki rasa welas tinggi kepada yang lain dan generasi bangsa yang peduli kepada sesama. Sulitkah ini dilakukan? Tidak. Bagi orang-orang yang tingkat penghambaan kepada Tuhannya tinggi dan sebaliknya sulit bagi orang-orang yang tingkat penghambaan kepada Tuhannya rendah.
Siapa orang yang tingkat penghambaan kepada Tuhannya tinggi, dia adalah orang yang tidak mau membuat resah atau menyakiti hati orang lain, karena dalam pikirannya hanya tertanam bahwa semua yang ada di alam ini atas kehendak yang Maha Kuasa. Alam hanya wujud nisbi, wujud hakikinya adalah Tuhan, Sang Pendesain semua jagat raya ini, termasuk manusia (kata Jawa: manusia hanya wayang yang mengikuti dalangnya). Semoga bermanfaat untuk kita semua.
Wallahu’alam bisshowab.
Penulis: Mujib Ridlwan (Wakil Tanfidziyah PCNU Tuban)