KEISLAMANOPINITAFSIR

Konsep Kenikmatan dalam QS. Al-Ra’d (13): 11 Menurut Tafsir Al-Jilani, Antara Nasib dan Ikhtiar

Tuban, PCNU Online
Setiap manusia dalam hidupnya mengalami berbagai keadaan, terkadang dalam keadaan bahagia, gembira, senang, terkadang juga dalam keadaan sedih, gelisah, marah. Keadaan batin tersebut biasanya berkaitan dengan hal lahiriah, seperti kondisi sosial, relationship, ekonomi, dan sebagainya yang biasa dianggap berkaitan dengan nasib.

Berbicara tentang nasib, tentu alam bawah sadar kita akan ingat dengan apa yang dinamakan takdir. Takdir atau dalam ilmu kalam disebut qadha’ dan qadar bisa dipahami sebagai kadar dan ukuran, yakni ukuran batasan kemampuan manusia terhadap kehidupannya.

Salah satu ayat Alquran yang sering dijadikan landasan tentang keadaan adalah QS. Al-Ra’d (13):11:

اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.”

Lafaz “يغير ما” dalam ayat tersebut sering dipahami bahwa manusia bisa mengubah takdir. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah kata “ما” dalam ayat tersebut benar-benar bermakna takdir? Mengingat kata tersebut berbentuk mubham (tidak konkrit), tidak ada arti yang spesifik apakah itu takdir ataukah bukan takdir.

Dalam artikel ini, kita akan merujuk pada salah satu ulama yang masyhur di kalangan umat Islam, namun relatif kurang diketahui bahwa ia sebenarnya juga mufassir (penafsir Alquran). Ia adalah Syekh ‘Abd al-Qadir al-Jilani, yang dalam hal ini penafsirannya akan dirujuk pada kitab Tafsir al-Jilani yang selesai ditulis pada 4 Syakban 1275 H. Tentu penafsiran dalam kitab ini cenderung bercorak sufi isyari. Karena isyari, maka dalam kitab ini diuraikan makna-makna tersembunyi dari teks Alquran.

Dalam versi cetakan al-Maktabah al-Ma’rufiyah Pakistan, penafsiran QS. Al-Ra’d (13): 11 terdapat dalam juz 2 halaman 391, Abd al-Qadir al-Jilani menjelaskan:

(إن الله) المدبر لأمور عباده المصلح لأحوالهم (لا يُغَيِّرُ) ولا يبدل (ما بقوم) من النعمة والعافية والرفاهية والفرح والسرور حَتَّى يُغَيِّرُوا ويبدلوا (ما بِأَنفُسِهِمْ) من محاسن الأخلاق ومحامد الأوصاف إلى المعالج والمذائم بترك أوامر الله وارتكاب نواهيه

Artinya: “(Sesungguhnya Allah) adalah pengatur urusan hamba-hamba-Nya dan memperbaiki kondisi mereka (tidak mengubah) tidak mengganti (keadaan suatu kaum) dari nikmat, kesehatan, kesejahteraan, kegembiraan, dan kebahagiaan (sehingga kaum itu mengubah) mengganti (keadaannya sendiri) dari bagusnya akhlak dan terpujinya sifat-sifat ke ma’alij dan sifat tercela dengan meninggalkan perintah Allah dan melakukan larangannya.”

Uraian tersebut menunjukkan bahwa lafaz “يغير ما” dalam ayat tersebut tidak bisa dimaknai secara literal sebagai mengubah takdir. “يغير” yang berarti mengubah dalam ayat tersebut juga bermakna “يبدل” yang berarti mengganti.

Kemudian kata “ما” dalam ayat tersebut yang secara literal dimaknai sebagai takdir atau keadaan, sebenarnya memiliki 5 makna, yakni: (1) kenikmatan, (2) kesehatan, (3) kesejahteraan, (4) kegembiraan, dan (5) kebahagiaan. Bisa dipahami bahwa yang dimaksud dalam kata “ما” tersebut bukan bermakna keadaan secara umum.

Kembali ke “يغير” dan “يبدل”, yang dimaksud mengubah dan mengganti, menurut al-Jilani adalah transisi atau berubahnya sifat yang terpuji ke sifat yang tercela. Berubahnya sifat manusia tersebut itulah yang bisa mengubah keadaan yang lima tersebut menjadi berlawanan, yakni nikmat menjadi tidak nikmat, sehat menjadi sakit, dan seterusnya.

Jika disederhanakan, maka yang dimaksud dengan ayat tersebut dari perspektif penafsiran ‘Abd al-Qadir al-Jilani adalah bahwa manusia oleh Tuhan diberikan anugerah berupa kenikmatan, kesehatan, kesejahteraan, kegembiraan, dan kebahagiaan. Kelima anugerah yang pada intinya merupakan kenikmatan tersebut tidak dirubah dan diganti oleh Tuhan menjadi hal yang tidak nikmat, kecuali manusia itu sendiri yang mengubah dan menggantinya dengan cara melakukan sesuatu yang melanggar perintah Tuhan dan melakukan sesuatu yang dilarang oleh Tuhan.

Misalnya, dalam lingkup kenikmatan spiritual. Secara fitrah manusia adalah suci, maka kenikmatan manusia berkaitan dengan fitrahnya yang suci. Kenikmatan spiritual ini bisa berubah menjadi kegelisahan jika seseorang melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan perintah Tuhan, entah itu meninggalkan salat, puasa, atau melakukan sesuatu yang merugikan orang lain.

Jika berbicara dalam lingkup lahiriah, misalnya kesehatan. Keadaan sehat ini diberikan oleh Tuhan kepada seseorang, dan keadaan sehat ini bisa berubah menjadi sakit salah satunya karena orang itu sendiri yang mengubah dan menggantinya, dengan cara melakukan sesuatu yang tidak sesuai prinsip kesehatan. Karena hal tersebut termasuk menyakiti diri sendiri, sedangkan menyakiti diri sendiri termasuk sifat yang tercela.

Pada akhirnya, keadaan manusia itu tidak melulu pada nasib, tidak melulu juga pada ikhtiar. Namun berkaitan dengan keduanya.

Penulis: Izzulhaq At-Thoyyibi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button