Bukan Sekadar Mengaji: Memahami Psikologi Anak Usia Dini di TPQ Al Hidayah

Tuban, PCNU Online
Setiap sore, di sebuah musala kecil di Lingkungan Jarkali, Kelurahan Gedongombo, Kecamatan Semanding, terdengar suara anak-anak melafalkan huruf-huruf hijaiyah. “Alif, ba’, ta’…” disambung gelak tawa, saling bersahutan, dan sesekali tangisan kecil karena rebutan Iqra’. Itulah suasana khas di TPQ Al Hidayah, tempat saya melakukan observasi sederhana tentang dunia psikologi anak usia dini.
Saya datang bukan sebagai guru, bukan pula orang tua santri, tetapi sebagai pengamat yang ingin melihat: seperti apa dunia batin anak-anak kecil yang sedang belajar mengaji?
Anak-Anak yang Bertumbuh Bersama
Anak-anak usia 4–6 tahun memang sedang berada di masa yang disebut golden age. Di usia ini, perkembangan otak mereka sedang pesat-pesatnya. Tapi jangan salah, perkembangan mereka tidak hanya soal bisa membaca cepat atau menghafal surah pendek, melainkan juga soal bagaimana mereka mengenali emosi, berinteraksi dengan teman, dan membangun rasa percaya diri.
Di TPQ Al Hidayah, saya melihat sendiri bagaimana seorang anak bernama Faiz, 5 tahun, dengan polosnya meminjamkan pensilnya ke temannya yang sedang sedih karena tidak bawa alat tulis. Sederhana, tetapi itu bentuk empati. Faiz mungkin belum tahu istilah itu, tetapi ia sudah mempraktikkannya.
Ustazah yang Juga Menjadi Ibu Kedua
Satu hal yang mencolok dari TPQ ini adalah sosok ustazahnya. Beliau tidak hanya mengajar huruf dan tajwid. Ia juga memeluk anak-anak yang menangis, menenangkan yang sedang ngambek, dan memuji dengan tulus setiap kali ada anak yang berani maju membaca.
Saya jadi teringat konsep attachment dalam psikologi perkembangan: anak-anak akan tumbuh optimal saat mereka merasa aman secara emosional. Di TPQ Al Hidayah, ustazah bukan hanya pendidik, tetapi juga menjadi sumber kelekatan dan rasa aman itu.
Belajar Mengaji, Belajar Mengelola Emosi
Saya menyaksikan Anin, 4 tahun, yang awalnya hanya duduk diam dan tak mau bersuara. Tapi setelah diajak bernyanyi bersama, lama-lama ia mulai membuka diri. Dari wajah canggung berubah menjadi senyum malu-malu. Dari diam menjadi ikut bernyanyi “alif-ba-ta” bersama teman-temannya. Sebuah momen kecil yang menunjukkan proses regulasi emosi yang sangat penting di usia dini.
Kadang kita lupa, anak-anak juga bisa grogi. Mereka juga bisa merasa tidak percaya diri. Maka di sinilah pentingnya suasana TPQ yang hangat dan suportif. Ini bukan soal berapa juz yang dihafal, tetapi bagaimana anak-anak tumbuh dengan bahagia saat belajar Al-Qur’an.
TPQ: Ruang Kecil dengan Dampak Besar
TPQ Al Hidayah hanyalah satu dari ribuan TPQ di Indonesia. Tapi dari ruang kecil ini, saya menyaksikan satu hal besar: pendidikan Islam di usia dini bisa menjadi fondasi kukuh bukan hanya untuk keimanan, tetapi juga untuk kesehatan mental dan sosial anak-anak.
Di zaman yang serba digital ini, TPQ tetap menjadi ruang hidup yang nyata tempat anak-anak belajar mengaji sambil belajar menjadi manusia. Ruang di mana akhlak dibentuk melalui kasih sayang, bukan hanya perintah. Di mana hafalan Qur’an tumbuh bersama tawa dan tangis yang diterima dengan penuh sabar.
Sebagai penutup, bahwa ketika kita mendengar kata “TPQ”, jangan bayangkan semata-mata pelajaran mengaji. Lihatlah juga ke dalam: bagaimana anak-anak belajar mengenali dirinya, mengekspresikan perasaannya, dan membangun hubungan sosial yang sehat.
Karena pada akhirnya, tugas kita bukan hanya mengajarkan Qur’an ke anak-anak, tetapi juga memastikan mereka mencintai Al-Qur’an dengan hati yang gembira, pikiran yang sehat, dan jiwa yang utuh.
Penulis: Nabila Fatma Sakina, mahasiswi IAINU Tuban Prodi Psikologi Islam.