Essai Opini WawasanOPINITasawuf Tarekat

Sirna dalam Cinta dan Manunggaling Kawula Gusti

“Beginilah keinginanku, tuk sirna dalam cintaku kepada-Mu, bak awan larut dalam cahaya mentari.” -Maulana Jalaluddin Rumi

Tuban, PCNU Online
Seorang pecinta cenderung akan menyesuaikan terhadap siapa yang dicintai, kalau bahasanya anak muda mungkin ya biar “se-frekuensi”. Laki-laki tidak suka sholawat tiba-tiba suka sholawat karena lagi jatuh cinta pada Perempuan Yalil-yalil, Laki-laki yang tiba-tiba gondrong karena tahu perempuan yang dicintai adalah fans filsuf Yunani, misalnya.

Begitulah seorang pecinta, terkadang dia sampai lupa dengan dirinya sendiri, dirinya sudah sirna.

Begitu pula seorang bijak bestari yang jatuh cinta kepada Tuhan. Karena Tuhan adalah puncak dari segala kemuliaan, cinta dan kasih, maka untuk menjadi manusia yang berakhlak mulia serta memiliki rasa cinta dan kasih adalah suatu keniscayaan bagi pecinta-Nya.

Seorang pecinta itu akan berusaha menyirnakan nafsu dirinya, kemudian “manunggal” dengan Tuhan, yang dalam falsafah Jawa dikenal dengan Manunggaling Kawula Gusti.

Manunggal, bukan berarti Dzat Tuhan dan Hamba menjadi satu, melainkan Hamba menjadi manifestasi dari Tuhan, menjadi pantulan dari kemuliaan dan kasih-sayang Tuhan. Ibarat kaca yang memantulkan cahaya matahari, antara keduanya sama-sama memberikan cahaya, hanya saja si kaca memberikan cahaya karena ada matahari.

Penulis: Izzulhaq At-Thoyyibi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button