ArtikelCatatan RedaksiJejak UlamaOPINI

Berkonflik dengan Kasih Sayang; Mengenang Mufaraqah Kiai As’ad dengan Gus Dur

Tuban, PCNU Online
Catatan ini dibuat sebagai ringkasan bahwasanya konflik di NU merupakan perkara biasa. Hal lumrah dan wajar. Organisasi yang didirikan para waliyullah ini sudah sangat terbiasa mengelola konflik. Bagi yang mencintai NU, tarik napas dan tetap tenang karena konflik bukan hal baru. Bagi pembencinya, siap-siaplah akan kecewa karena harapan perpecahan itu tidak akan terwujud.

Tepat pada Rabu siang, 29 November 1989 silam, Ketua Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) Muktamar NU Ke-28 di Krapak, KHR Asad Syamsul Arifin menyatakan mufaraqah (memisahkan diri) dengan Gus Dur, yang saat itu terpilih kembali secara aklamasi sebagai Ketua Umum Tanfidziyah.

Pernyataan pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Situbondo itu disampaikan di depan awak media yang hadir. Kabar ini dengan cepat meluas dan membuat kebingungan warga NU. Padahal, sebelumnya kiai As’ad merupakan salah satu kiai sepuh yang mendukung Gus Dur sebagai Ketua Tanfidz saat Muktamar ke-27 di Situbondo.

“Tetap di satu masjid, tapi tidak menjadi makmum. Ya, bagaimana, wong ketika salat imamnya kentut atau kelihatan anunya. Masa, saya makmum juga. Jadi, saya tidak membatalkan salat saya, tapi saya salat sendiri. Masa imamnya sudah kentut dan tak mau wudu lagi, kok masih tetap ingin jadi imam juga,” begitulah kurang lebih pernyataan KHR As’ad tentang Gus Dur seperti ditulis koran Tempo, 2 Desember 1989 silam.

Kalau sekarang ada dinamika organisasi di tubuh NU. Rasa-rasanya tidak sepanas polemik antara Gus Dur dan Kiai As’ad. Gus Dur yang didukung Kiai As’ad pada Muktamar ke-27. Harus saling berhadap-hadapan dan membawa polemik ini di panggung terbuka.

Alasan Gus Dur dianggap tidak layak menjadi ketua umum PBNU saat itu oleh kiai As’ad dan kiai sepuh lain karena langkah dan pemikirannya dianggap sudah keluar dari rel Aswaja. Di antaranya, karena Gus Dur menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan kesediaan beliau membuka malam puisi Yesus Kristus.

Dari sekian alasan, yang paling santer adalah karena langkah-langkah Gus Dur yang dengan berani menyerang Soeharto. Padahal, Kiai As’ad dikenal sebagai sosok yang dekat dengan penguasa orde baru itu.

Akibat imbas dari tindakan Gus Dur yang dianggap kontroversial itu juga berujung pada acara “Gus Dur Diadili 200 Kiai” di Pesantren Darut Tauhid Cirebon pada 8-9 Maret 1989. Saat itu Gus Dur bisa mengemukakan semua alasan dan menjawab pertanyaan yang dilontarkan para kiai dengan cerdas.
Beberapa alasan yang dikemukakan Gus Dur, di antaranya adalah kesediannya menjadi Ketua DKJ karena industri film saat itu lebih banyak menampilkan unsur pornografi. Mendiang juga menjawab beberapa kesalahpahaman yang diterima masyarakat.

Memusuhi untuk Melindungi

Bagi orang-orang yang takut dengan kebesaran NU, kabar perselisihan antara Gus Dur dan Kiai As’ad disikapi dengan tepuk tangan. Penguasa orde baru yang saat itu dilawan Gus Dur kala itu bernapas lega karena menganggap Gus Dur bergerak tanpa dukungan dari kiai sepuh. Kekuatan NU dianggap keropos karena tidak mendapatkan dukungan dari kiai sepuh.

Ada catatan menarik yang dibuat M Mas’ud Adnan, jurnalis senior cum aktivis NU. Pengusaha media asal Surabaya itu menulis catatan mengulas apa yang sebenarnya terjadi di balik “perseteruan” antara KHR As’ad dengan Gus Dur.

Artikel Mas’ud Adnan di situs berita Bangsa Online, Kamis, 21 November 2019 berjudul KHR Asad Syamsul Arifin: Saya kalau Lihat Wajah Gus Dur, yang Tampak Wajah Hadratussyaikh, mengulas banyak kesaksian menarik. Pecah kongsi, seperti anggapan banyak orang kala itu ternyata hanya sebuah strategi dari para kiai sepuh untuk menyelamatkan dan mengamankan kader-kadernya.

PBNU saat itu mengutus KHM Yusuf Hasyim, salah satu putra Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari yang kala itu menjadi Wakil Rois PBNU untuk menemui Kiai As’ad. Kiai Yusuf Hasyim, punya kebiasaan merekam pidato atau pembicaraan penting, termasuk dengan Kiai As’ad. Rekaman pembicaraan beliau berdua diperdengarkan kepada para santri Tebu Ireng, termasuk Mas’ud Adnan yang saat itu masih nyantri.

Inti dari pembicaraan itu, para santri Tebuireng menangkap apa yang sebenarnya terjadi (Gus Dur dan Kiai As’ad) tidak seperti yang ramai diberitakan di tengah khalayak.

“Saya (penulis artikel ini) masih ingat, Kiai Yusuf Hasyim merekam pembicaraan Kiai Asad itu pakai tape recorder merek Sony. Saya tahu karena santri Tebuireng yang juga diminta Kiai Yusuf Hasyim ikut mendengarkan hasil rekaman itu,” cerita Mas’ud Adnan di artikel tersebut.

Mas’ud Adnan juga pernah mendengar cerita dari KH Muchith Muzadi. Kakak kandung dari KH Hasyim Muzadi ini menceritakan kisahnya kepada anak-anak muda NU ketika berkunjung ke kantor PWNU Jawa Timur. Penulis artikel yang pernah menjadi bendahara LTN PWNU di era KHA Hasyim Muzadi dan KH Ali Maschan jadi ketua PWNU Jatim ini pun mendengarkan cerita bersama anak-anak muda lain.

Lanjut cerita, Kiai Muchith yang ketika itu berkunjung ke kantor PWNU Jawa Timur bercerita tentang hasil tabayun beliau dengan Kiai As’ad. Kiai Muchith yang memang dekat dengan Kiai As’ad bahkan langsung masuk ke kamarnya untuk menanyakan perihal mufaraqah.

“Saya matur. Kiai, kalau Gus Dur dianggap keliru, seharusnya dipanggil dan dinasehati. Jangan bicara di koran,” kata Kiai Muchith Muzadi kepada Kiai Asad.

Jawaban yang didapat justru mengejutkan. Kiai As’ad mengatakan kalau itu adalah caranya untuk melindungi Gus Dur. Kiai As’ad sengaja memusuhi Gus Dur, karena cucu dari Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari ini adalah target pembunuhan orde baru.

“Karena Gus Dur mau dibunuh oleh penguasa Orde Baru,” jelas Kiai As’ad kepada Kiai Muchith. Ancaman ini muncul karena sikap kritis Gus Dur kepada Soeharto. Alasan Kiai As’ad memusuhi Gus Dur bersama ulama sepuh NU yang lain, maka Soeharto akan menganggap tidak ada ancaman serius dari Gus Dur, sehingga merasa tetap aman dengan kedudukannya.

Meski Kiai As’ad mufaraqah dengan Gus Dur, beliau sebenarnya tidak pernah mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama. Pengasuh Ponpes Raudlatul Ulum Jember, KH Khotib Umar, juga pernah bertabayun dengan kiai As’ad tentang sikapnya. Hasilnya, beliau mendapatkan jawaban yang sama seperti jawaban didapat KH Muchith Muzadi. “Ketika saya tanya kenapa mufaraqah, Kiai Asad menjawab, itu untuk menyelamatkan Gus Dur, karena Gus Dur mau dibunuh oleh penguasa Orde Baru,” kata Kiai Khotib Umar menirukan jawaban Kiai Asad. Karena itu jangan heran jika Kiai Asad tidak pernah mengajak orang lain untuk mufaraqah kepada Gus Dur.

Penulus: Edy Purnomo (Direktur Media Center PCNU Tuban)
Editor: Ahmad Athoillah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button