Burhanuddin, Santri dan Pengurus IPNU Tuban Asal Jakarta Selatan yang Dulunya Tidak Kenal NU

Tuban, PCNU Online
Muhammad Burhanuddin atau akrab disapa Burhan, merupakan sosok yang sejak kecil tumbuh di Ibukota Jakarta, tepatnya di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Perjalanan intelektual dasarnya, Burhan sekolah di Madrasah Ibtidaiyah (MI) At-Taqwa Kelurahan Pela Mampang, Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.
Setelah lulus dari MI di Jakarta Selatan, Burhan melanjutkan perjalanan intelektual dengan pindah di kawasan yang sangat jauh dari Jakarta, dia melanjutkan pendidikan di kawasan pesantren Kecamatan Senori, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
Ia bisa mengenal daerah Senori yang relatif jauh dari Jakarta Selatan karena saudara-saudaranya ada yang pernah mondok di Senori dan ia ingin mengikuti jejak saudaranya.
“Pertama mengenal Senori dari kakak-kakak saya yang dulu juga pernah mondok di Senori, tidak berpikir panjang, setelah lulus MI langsung ingin pergi mondok seperti kakak-kakak saya.” tuturnya.
Dari Jakarta Selatan sebagai sentral dari kultur perkotaan ke pesantren di Senori, Tuban dengan kultur pedesaan, tentu saja Burhan sempat mengalami culture shock.
“Kesan saya selama mondok di Senori Tuban sangat kaget sekali, ternyata gini rasanya hidup mandiri, tanpa ada sosok kedua orang tua di samping kita. Tapi dari itu semua saya merasakan hidup yang lebih berubah dari yang sebelum sebelumnya, merasakan memiliki guru yang sangat istimewa dalam hidup saya, guru yang sudah kuanggap sebagai pengganti orang tuaku saat di pondok.”
Kultur Pendidikan Pesantren Senori
Mondok di Pesantren Annasyiah Al Jadidah dan sekolah formal di MTs-MA Islamiyah Desa Jatisari, Kecamatan Senori. Burhan merasakan bahwa kultur pendidikan keislaman khas pesantren yang ada di Senori ini merupakan hal yang istimewa karena ilmu-ilmunya yang autentik dan hubungan antara murid dan guru yang spesial, dan dari pesantren ini lah Ia mulai benar-benar tertarik untuk mendalami ajaran Islam secara kaffah.
“Selama mempelajari ilmu agama di pondok, saya sungguh terkejut, ternyata islam seluas, sesimpel itu, tidak menyulitkan umatnya, banyak yang belum saya ketahui, tetapi sedikit demi sedikit saya belajar dan penasaran dengan apa yang namanya islam, dari itu akhirnya saya mulai mengetahui apa itu agama islam.”
Selain hubungan istimewa antara murid dan guru, ia juga merasakan bahwa ada hal di pesantren ini yang sulit ditemukan di luar.
“Mungkin hal yang sulit ditemukan di Pesantren Senori dari pesantren yang lain adalah keberkahan Kiai yang sangat terkenal seperti KH. Abu Fadhol, Kiai Ahmad Chudlori, dll.”
Dari Tidak Kenal NU, Menjadi Pengurus IPNU Tingkat Kabupaten
Burhan saat masih kecil di Jakarta, dia belum mengenal apa itu Nahdlatul Ulama (NU), bahkan lingkungan masa kecilnya cenderung pada kultur Muhammadiyah, jadi waktu kecil dia adalah anak Muhammadiyah. Dia mulai mengenal kultur NU sejak mondok di Senori, meskipun saat itu baru mengenal secara kultural. Dia mengenal secara struktural sejam mengikuti organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) di MTs.
“Dulu ketika masih di Jakarta, saya belum mengenal apa itu Nahdlatul Ulama, awal mula mengenal Nadhlatul Ulama ketika saya memasuki organisasi yang ada di MTs Banin, disitu saya dijadikan sekretaris IPNU, saat itulah saya mengenal dan mulai belajar apa itu Ke NU-an,” Burhan menceritakan mulai mengenal dan aktif di NU struktural.
“Awal menjadi pengurus sama seperti di atas, hanya saja ketika menginjak kelas MA saya menjadi wakil ketua Pimpinan Komisariat (PK), dilanjut menjadi anggota Pimpinan Anak Cabang (PAC) Senori tahun 2023, di PAC IPNU Senori saya menjadi pengurus Departemen Organisasi dan pada tahun 2024 saya diajak oleh ketua PAC Senori (Ahmad Farozi) untuk menjadi bagian dari Pimpinan Cabang (PC) IPNU Tuban, di PC IPNU Tuban saya menjadi bagian dari Dapertemen Dakwah.”
Burhan, kendati sudah lulus dari pesantren dan sekolah di Senori dan sudah kembali ke Jakarta, ia tetap berkhidmat di Departemen Dakwah PC IPNU Tuban. Meskipun raganya di Jakarta, gagasan dan loyalitasnya untuk PC IPNU Tuban dan Pondok Pesantren Annasyiah Al Jadidah Senori masih melekat kuat. Apalagi di era digital, pengabdian bisa dijalankan secara virtual.