BeritaNu NewsPondok PesantrenWARTA

Harlah Ponpes Sunan Bejagung, Kiai Marzuki: Belajar Harus Memiliki Guru dan Sanad yang Jelas

Tuban, PCNU Online
Harlah ke-25 Pondok Pesantren Sunan Bejagung yang diisi kegiatan istighotsah dan ijazah kubro, Ahad (4/6/2023) berlansung semarak dan penuh khidmat. Ribuan santri, wali murid, dan tamu undangan tumplek blek dalam acara yang dihadiri para kiai pengasuh pesantren se-Jawa Timur tersebut.

Hadir pula dalam kegiatan itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim.

Dalam sambutannya, Ketua PWNU Jawa Timur, KH Marzuki Mustamar menyampaikan beberapa hal penting. Salah satunya terkait pentingnya sanad keilmuan. Sebab, di era serba digital ini banyak sekali orang yang mengaku ustad, tapi tidak memiliki sanad keilmuan yang jelas.

Disampaikan Kiai Marzuki, sanad adalah ciri khas pembelajaran di pesantren. Bagi santri, sanad keilmuan itu sangat penting. Sebab, sebaik-baiknya orang belajar itu memiliki guru. Dan guru itu memiliki guru lagi. Begitu seterusnya—tersambung dengan guru-guru lainnya—yang memiliki sanad keilmuan jelas dan berakhlak mulia. Itulah definisi sanad.

“Mengapa belajar harus bersanad? Ulama tasawuf Imam Abu Yazid Al-Busthami (wafat 874 M) menyebutkan, barang siapa yang tidak mempunyai guru, maka imamnya adalah setan,” tegas Kiai Marzuki dalam sambutannya.

Sebab itulah, para masyayikh di Ponpes NU pasti memiliki guru yang jelas sanadanya, dan berakhlak mulia. Itu penting untuk memastikan bahwa ilmu yang didapat melalui proses yang baik dan benar.

Ciri khas kedua belajar di pesantren, lanjut Kiai Marzuki, yakni kitab yang diajarkan masih asli. Dan itu bisa dilihat dan disaksikan saat mengaji. Para kiai menggunakan kitab lama—yang didapat saat masih nyantri.

“Makanya, kalau belajar ke Timur Tengah, ngaji dulu ke masyayikh di Nusantara. Khawatirnya, yang di sana sudah ada perubahan oleh tangan jahil Wahabi,” terang pengasuh Pondok Pesantren Sabiilul Rosyad, Kota Malang ini.

Kelebihan ketiga, lanjut Kiai Marzuki, rata-rata para kiai atau pengasuh pondok pesantren NU adalah asli nusantara atau pribumi. Dengan demikian, mengerti kondisi santri dan umatnya.

“Contoh paling mudah. Kenapa salat tarawih NU kadang tak kurang dari 20 menit. Karena kiai kita tahu masyarakat kita banyak pekerja, petani, dan lainnya. Sudah payah. Kalau kita dipaksa lama. Maka khawatir keesokan harinya tidak balik,” terangnya.

Gayung bersambut disampaikan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa yang juga hadir dalam harlah Ponpes Sunan Bejagung. Dikatakan Khofifah, dirinya pernah bertemu pimpinan perpustakaan nasional Arab Saudi dan memperlihatkan karya ulama nusantara Syeikh Mahfudz At Tarmasi, yakni kitab tafsir.

Dalam dialognya, pihak perpustakaan Arab saudi menyampaikan bahwa kitab tersebut masih menjadi rujukan. Bahkan digunakan sebagai kurikulum doktoral di King Abdul Aziz Univetsity.

“Begitu besar kontribusi dari ulama nusantara untuk dunia. Makanya, benar yang disampaikan kiai Marzuki. Karya ulama kita dipakai di Timur tengah. Harusnya kita pelajari lebih dulu pesantren kita,” katanya.

Penulis: Abdur Rochim
Editor: Ahmad Atho’illah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button