ArtikelKEISLAMANQURANTAFSIR

Legalitas Perempuan dalam Berpolitik: Pemahaman Husein Muhammad Terhadap QS Ali Imran (3): 195

Tuban, PCNU Online
Perempuan seringkali dianggap sebagai makhluk yang serba terbatas, di mana beberapa peran dianggap hanya boleh dilakukan oleh laki-laki. Salah satu yang menjadi isu pembatasan perempuan ini adalah perannya dalam dunia politik. Pembatasan peran politik ini didasarkan atas beberapa hal. Dalam Islam, biasanya hal ini didasarkan pada beberapa teks agama.

Dalil yang sering digunakan oleh sebagian orang sebagai landasan pelarangan perempuan berpolitik adalah penggalab Hadis riwayat Imam al-Bukhari:

لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً

Artinya: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.”

Selain diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, hadis ini juga diriwatkan oleh Ahmad bin Hanbal, Imam at-Tirmidzi, Imam at-Thabrani, dan Imam an-Nasa’i. Banyak yang memahami hadis tersebut bahwa perempuan dilarang ikut berpolitik.

QS Ali Imran (3): 195

Sebelum tergesa-gesa menyimpulkan demikian dan mengklaim bahwa politik hanya boleh dilakukan oleh laki-laki. Alangkah baiknya kita membaca terlebih dahulu QS Ali Imran (3): 195 yang berbunyi:

اسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ اَنِّيْ لَآ اُضِيْعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنْكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰىۚ بَعْضُكُمْ مِّنْۢ بَعْضٍۚ فَالَّذِيْنَ هَاجَرُوْا وَاُخْرِجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ وَاُوْذُوْا فِيْ سَبِيْلِيْ وَقٰتَلُوْا وَقُتِلُوْا لَاُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّاٰتِهِمْ وَلَاُدْخِلَنَّهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُۚ ثَوَابًا مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِۗ وَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الثَّوَابِ ١٩٥

Artinya: “Maka, Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan perbuatan orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain. Maka, orang-orang yang berhijrah, diusir dari kampung halamannya, disakiti pada jalan-Ku, berperang, dan terbunuh, pasti akan Aku hapus kesalahan mereka dan pasti Aku masukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai sebagai pahala dari Allah. Di sisi Allahlah ada pahala yang baik.”

Dari ayat ini, setidaknya mulai ada pemahaman sederhana bahwa ada ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan perbuatan manusia, baik dari laki-laki maupun perempuan.

Pemahaman Husein Muhammad

Seorang tokoh laki-laki dengan pemikiran feminis, KH Husein Muhammad, akrab dipanggil Buya Husein dalam buku Islam Agama Ramah Perempuan, memberikan penjelasan bahwa manusia (tanpa menyebut gender) memiliki tugas sebagai khalifah di muka bumi, yakni memakmurkan bumi untuk kemaslahatan manusia. Dan salah satu dari sekian bentuk memakmurkan bumi adalah berperan dalam politik.

Yang menjadi perdebatan adalah tentang bagaimana jika urusan politik ini juga diperankan oleh perempuan. Dari Hadis yang disebutkan di atas, banyak yang memahami bahwa perempuan dilarang berperan dalam politik, termasuk menjadi pemimpin.

Merujuk pada ayat tersebut, Buya Husein memiliki pemahaman bahwa di dalam politik, laki-laki dan perempuan memiliki peran yang saling membutuhkan untuk melengkapi satu sama lain.

Buya Husein menguatkan argumennya dengan merujuk kepada tokoh-tokoh perempuan di masa Nabi Muhammad saw. yang berperan dalam politik pada saat itu. Tokoh yang disebut di antaranya para istri Nabi terutama Khadijah ra., dan Aisyah ra., kemudian putri Nabi yang bernama Fathimah ra. Dan juga perempuan-perempuan lain dari kalangan sahabat.

Para perempuan ini dalam sejarahnya, memiliki peran melibatkan diri dalam diskusi sosial dan politik, juga melakukan kritik terhadap beberapa kebijakan yang kurang baik.

“Mereka sering terlibat dalam diskusi tentang tema-tema sosial dan politik, bahkan mengkritik kebijakan-kebijakan domestik maupun publik yang patriarkis.” (Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan [Yogyakarta: Ircisod, 2021] hlm 192)

Perempuan: Silahkan Berpolitik

Dari penjelasan Buya Husein, kita bisa menemukan titik terang bahwa ternyata dalam awal sejarah Islam, para perempuan, bahkan dari keluarga Nabi Muhammad saw. sendiri, memiliki peran dalam dunia perpolitikan. Selain keluarga Nabi saw, dari kalangan sahabat juga terdapat beberapa perempuan yang ikut serta dalam sosial dan politik, seperti Nusaibah binti Ka’ab, Ummu Athiyyah, dan sebagainya.

Namun, pasca Kenabian dan pemerintahan Khulafaur Rasyidin hingga awal abad ke-20, peran perempuan dalam politik mengalami degradasi dan reduksi, dari sini perempuan mulai dibatasi perannya dalam ruang politik baik dalam lingkup legislatif maupun eksekutif.

Alasan pembatasan ini secara umum adalah pandangan bahwa perempuan adalah sumber godaan hawa nafsu lelaki dan perempuan memiliki kemampuan akal yang tidak sebaik laki-laki. Pandangan seperti ini mengalami perubahan pada awal abad ke-20, di mana ketika banyak perempuan yang memiliki pendidikan yang lebih baik, ternyata memiliki kompetensi yang layak dalam partisipasi di ruang politik.

Maka dari itu, baik atau rusaknya pekerjaan dan kebijakan politik bukan tentang gender, melainkan tentang kompetensi. Jadi, ketika ada suatu kekurangan dalam peran politik perempuan, yang sebaiknya dicurigai bukan gendernya, melainkan bagaimana pendidikan memperhatikan kompetensi perempuan di bidang tersebut. Wallahua’lam…

Penulis: Izzulhaq At Thoyyibi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button