ArtikelOPINI

Penutupan Patung Bunda Maria dan Pentingnya Memahami Toleransi

Tuban, PCNU Online
Belakangan ini viral di media sosial tentang penutupan patung Bunda Maria di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Topik mengenai patung Bunda Maria juga sedang trending di Twitter. Video patung Bunda Maria beredar melalui unggahan di media sosial. Penutupan itu terjadi pada Rabu (22/3), usai aksi salah satu ormas yang mengutarakan ketidaknyamanan atas keberadaan patung tersebut.

Ormas itu menyatakan keberadaan patung mengganggu umat Islam yang melaksanakan ibadah di Masjid Al-Barokah menjelang Ramadan. Dalam video itu, jajaran kepolisian, yakni Kanit Binmas beserta lima anggota Polsek Lendah, Kulon Progo, dilaporkan ikut mengamankan penutupan patung Bunda Maria.

Patung terletak di Rumah Doa Sasana Adhi Rasa ST Yacobus, Kulon Progo, Yogyakarta tersebut ditutup menggunakan kain terpal berwarna biru. Ketua RT 61 Degolan, Purwoko, menyatakan bahwa Rumah Doa Sasana Adhi Rasa St. Yacobus sudah berdiri sejak sekitar setahun lamanya. Selama itu pula, klaimnya tidak pernah ada gejolak dengan warga sekitar. Tetapi kenapa baru ramai saat momentum puasa ya?

Kejadian tersebut mengingatkan saya pada penutupan patung di Klenteng Kwan Sing Bio Tuban yang juga sempat menuai kontroversi dan viral dimedia sosial. Karena ada masalah IMB dan ramai di media sosial, akhirnya diputuskan patung ini ditutup kain putih. Saat itu, memang pihak Pemkab Tuban belum memberi izin IMB untuk patung yang telah mendapat penghargaan dari MURI sebagai patung tertinggi se-Asia dengan ketinggian 30 meter tersebut.

Kabar negatif yang berkelindan di media sosial, yang menyangkutkan penutupan patung ini dengan isu SARA juga tidaklah benar karena memang semua murni terkait perizinan dan adanya masalah dalam kepengurusan internal.

Toleransi merupakan antitesis dari kekakuan beragama, dalam arti lain konservatisme. Pemikiran ini cenderung menjurus ke kolot dan kaku, bahkan sampai pada level ekstrem menjurus pada sektarianisme, yakni pandangan yang meyakini bahwa kelompok mereka sendirilah yang paling benar. Nabi Muhammad SAW mengajarkan apa itu cinta kasih dan menyayangi manusia meski mereka bukan golongan kita. Karena sejak awal Islam hadir sebagai pembaharu mengajak manusia agar memanusiakan manusia dan lingkungan sekitarnya tanpa terkecuali.

Dalam terminologi Islam, istilah yang dekat dengan kerukunan umat beragama adalah ‘tasamuh’ yang berarti toleransi. Konsep toleransi beragama dalam Islam bukanlah membenarkan semua ajaran agama dan keyakinan yang ada karena ini merupakan persoalan akidah dan keimanan yang harus dijaga dengan baik oleh setiap muslim. Toleransi antar umat beragama hanya menyentuh ranah sosial, yaitu mengakui keberagaman keyakinan dan kepercayaan di masyarakat tanpa saling mencampuri urusan keimanan, kegiatan, tata cara dan ritual peribadatan agama masing-masing.

Pada dasarnya, kebebasan memeluk agama atau kepercayaan adalah hak setiap warga negara. Dasar hukum yang menjamin kebebasan memeluk agama atau kepercayaan juga sudah tertuang dalam konstitusi UUD 1945.

Menurut KH Abdurrahman Wahid, mantan Presiden RI sekaligus mantan Ketua PBNU, toleransi merupakan tindakan yang menekankan bagaimana berperilaku dalam kemajemukan. Gagasan beliau berangkat dari nilai keagamaan, bahwa rahmatan lil’alamin dipahami sebagai rahmat bagi seluruh makhluk, tidak hanya manusia. Gus Dur memandang bahwa Islam adalah pelindung bagi seluruh makhluk.

Pemahaman tersebut berangkat dari hadis yang di riwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan Hakim yang dalam bahasa Indonesia sebagai berikut: “Sayangilah orang yang ada di bumi, maka akan sayang pula mereka yang ada di langit kepadamu.” Hadis tersebut bermakna tentang persaudaraan yang sangat luas. Hal tersebut dilanggengkan oleh sikap toleran sesama manusia. Gus Dur memposisikan toleransi dalam berpikir dan bertindak.

Viralnya kejadian tersebut bisa diambil sisi positifnya, bahwa masyarakat Indonesia sudah banyak yang memiliki kesadaran bahwa hak orang lain juga sama pentingnya untuk diupayakan. Banyak yang tidak terima saat kebebasan beragama orang lain direnggut. Mungkin hanya menyisakan segelintir masyarakat yang merasa imannya goyah saat menahan lapar dan dahaga kemudian melihat patung atau atribut agama lainnya. Patung tersebut tidak mengeluarkan suara kencang dalam lima kali sehari, atau membuat suara gaduh dalam ketenangan tidur malam. Jika ada pihak yang layak untuk tersinggung maka itu adalah pihak non-muslim karena selama ini mereka sudah cukup banyak menerima beragam “gangguan” dari pihak agama mayoritas.

Di abad kedua Nahdlatul Ulama, terlebih di momentum puasa yang penuh berkah ini, sudah sepatutnya kita sebagai warga NU dengan agama mayoritas sekaligus organisasi massa dengan jumlah pengikut terbesar di Indonesia, perlu memaksimalkan peran aktifnya dalam menciptakan kehidupan bangsa yang damai, setara, dan berkeadilan serta menjaga keutuhan NKRI. (*)

Penulis: Putri Ayu Salsabila, mahasiswa Institut Ilmu Kesehatan Nahdlatul Ulama (IIKNU). Juga pengurus KOPRI PC PMII Tuban.
Editor: Ahmad Atho’illah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button