
Tuban, PCNU Online
Tafsir Alquran memiliki sejarah yang sangat panjang, bahkan sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW masih hidup dan tentunya penafsiran yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah kebenaran yang mutlak dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Setelah Rasulullah SAW wafat dan zaman para sahabat dimulai, tafsir masih belum dibakukan menjadi sebuah disiplin ilmu, barulah pada masa tabi’in, muncul seorang tokoh mufassir pertama yang bernama Munqatil ibn Sulaiman dengan kitab tafsirnya yang berjudul Tafsir al-Kabir.
Setelah Munqatil ibn Sulaiman, banyak tokoh mufassir mulai bermunculan dari berbagai mazhab baik fikih atau teologi. Meskipun tafsir berkembang dengan pesat dan terdapat banyak sekali kitab tafsir dengan berbagai corak dan latar belakang, akan tetapi terdapat satu hal yang belum dilakukan oleh para ulama’ dalam menulis tafsir sejak ditulisnya tafsir pertama sekitar abad 7 masehi sampai sekitar abad 19 masehi, muncul seorang orientalis ternama yang memberikan inovasi yang cukup mempengaruhi perkembangan tafsir Alquran, yakni tafsir dengan tartib nuzuli yang pertama kali digagas oleh Theodor Noldeke.
Mungkin banyak yang tidak percaya setelah mendengar nama tersebut, pasalnya Theodor Noldeke adalah seorang orientalis, meskipun pemikirannya tentang Alquran banyak dikritik oleh ulama’ kontemporer, akan tetapi mau tidak mau umat islam harus mengakui bahwa embrio tafsir tartib nuzuli berasal dari orang ini. hal tersebut dibuktikan dengan karyanya yang berjudul Geschichte des Qorans (Sejarah Alquan).
Theodor Noldeke adalah tokoh orientalis berkebangsaan Jerman yang lahir pada tanggal 2 Maret 1896 di kota Hanover, Jerman. Dia dikenal karena banyak mempelajari banyak bahasa seperti Persia, Turki, Sansekerta dan Samiah. Karier pendidikannya dimulai pada saat dia kuliah di Universitti Gottigen di mana dia mempelajari bahasa-bahasa tersebut, setelah lulus, dia melanjutkan studinya ke berbagai universitas ternama di Jerman seperti Universitas Libzeg, Universitas Fina, Universitas Leiden dan Universitas Berlin. Sampai pada akhirnya pada tahun 1860, dia menulis dan menerbitkan sebuah buku yang benar-benar menjadi inovasi dalam perkembangan ilmu Alquran dan Tafsir, yakni Geschichte des Qorans (Sejarah Alquan) yang menjadi embrio munculnya tafsir Alquran dengan corak nuzuli. (Cholily 2015, 72–73).
Dalam buku Geschichte des Qorans (Sejarah Alquan), Noldeke menjelaskan bahwa terdapat tiga pendekatan untuk memahami Alquran yang digunakan oleh para orientalis untuk meneliti Alquran. Pertama, pendekatan filologis, pendekatan ini terdiri dari beberapa tahapan yakni penelitian dan kritik nilai naskah (textual criticism), bentuk karya (form criticism) dan penelusuran sumber yang digunakan dalam karya tersebut (source criticism). Alquran memenuhi ketiga syarat tersebut karena Alquran memiliki nilai yang tinggi mengingat ini adalah kitab suci umat islam, Alquran pada awalnya ditulis di atas pelepah kurma, batu, atau bahkan tulang binatang namun dikodifikasi dan ditulis di atas kertas pada masa Khalifah Uthman ibn Affan, sumber Alquran merupakan wahyu sehingga sumbernya berasal dari Tuhan.
Kedua, setelah melakukan pendekatan filologis, langkah selanjutnya adalah melakukan pendekatan kritik historis (historical criticism). Pendekatan ini membutuhkan beberapa analisis seperti apakah informasi ini mengandung kebenaran atau mitos, kontradiksi antar sumber, apakah terdapat variasi meskipun berasal dari sumber yang sama dan kekeliruan bahasa yang digunakan. Seluruh umat islam percaya bahwa Alquran adalah wahyu dari tuhan, mengandung kebenaran dan terjaga keasliannya. Meskipun terdapat beberapa bagian Alquran yang terlihat kontradiksi, akan tetapi hal tersebut didasarkan pada situasi dan kondisi yang berubah selama pewahyuan Alquran.
Salah satu contoh sederhananya yakni hukum khamr. Pada awalnya hukumnya adalah halal, akan tetapi Allah Swt mewahyukan beberapa ayat yang secara bertahap mengharamkan khamr, sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa meskipun terdapat ayat-ayat yang terlihat kontradiksi, akan tetapi secara hakikat hal tersebut adalah konsistensi yang ada pada Alquran. Orang yang tidak mengerti sastra mungkin tidak dapat menangkapnya, akan tetapi seorang ahli sastra bisa menangkap dan mengkonfirmasi bahwa gaya bahasa arab yang digunakan Alquran memiliki kualitas yang sangat tinggi bahkan bisa dipastikan tidak ada satu pun karya sastra yang mampu untuk mengungguli keindahan gaya bahasa yang digunakan oleh Alquran. Dari analisis tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa Alquran lolos seleksi kritis historis (historical criticism).
Ketiga, pendekatan ontologis, pendekatan ini menganalisis tentang keberadaan Alquran itu sendiri, apa itu Alquran dan mengapa Alquran ada? Jawaban atas pertanyaan tersebut dari umat islam sendiri yang dimana mengimani bahwa Alquran adalah kalamullah yang bersifat qodim. Artinya Alquran sudah ada sejak zaman azali karena merupakan bagian dari Allah SWT. Akan tetapi poin yang menjadi embrio tafsir corak nuzuli adalah poin yang kedua, yakni bagaimana Theodor Noldeke menggunakan pendekatan kritis historis (historical criticism). Tafsir dengan tartib nuzuli sendiri adalah tafsir yang susunannya didasarkan pada asbab al-nuzul, sehingga urutan penulisannya dimulai dari surah al-Alaq dan seterusnya.
Penulisan tafsir dengan tartib nuzuli diharapkan mampu untuk memahami Alquran dari segi sosio-historis disamping menafsirkan ayat, karena urutannya dimulai dengan surah al-Alaq, maka pembaca bisa memahami Alquran secara kronologis disamping memahami tafsirnya serta bisa dimanfaatkan untuk memahami sirah nabawiyah (perjalanan hidup Nabi Muhammad saw). Inovasi yang dilakukan oleh Theodor Noldeke ini memunculkan dua kitab tafsir yang ditulis dengan menggunakan susunan surah sesuai dengan urutan turunnya yang dikarang oleh dua ulama’ terkenal yakni Muhammad ‘Izzat Darwazah, ulama’ asal Palestina dengan karyanya, al-Tafsir al-Hadith dan Mohammed Abed al-Jabri, ulama’ asal Maroko dengan karya tafsirnya, Fahm al-Qur’an al-Karim: al-Tafsir al-Wadhih Hasaba Tartib al-Nuzul. Kedua kitab tersebut adalah tafsir dengan menggunakan tartib nuzuli akan tetapi terdapat perbedaan susunan surah dalam kedua tafsir tersebut. Wallahua’lam.
Penulis: Ibadillah Fajar Muharram