Unik, Kategori Ulama Kanan dan Kiri Versi KH. Anwar Zahid

Tuban, PCNU Online
Sebagaimana sering diketahui, ulama merupakan pewaris dari para Nabi. Artinya, ulama mewarisi Nabi bukan pada status kenabiannya, melainkan keilmuan, kesalehan, akhlak, dan juga amanat dalam membina umat untuk senantiasa dalam naungan pelita agar tidak terjebak dalam gelap gulita.
Di berbagai penjuru dunia, kita bisa menemui berbagai macam ulama, ada ulama yang memiliki kecenderungan pada ilmu tauhid atau akidah yang kita kenal sebagai ulama mutakallimin, ada yang memiliki kecenderungan pada fikih dan ushul fiqh yang kita kenal sebagai ulama mujtahid atau mufti, ada yang memiliki kecenderungan pada akhlak – tasawuf yang kita kenal sebagai ulama sufi. Dan tentunya masih banyak lagi.
Indikator Ulama
KH. Anwar Zahid (Abah Anza) dalam pengajiannya di Haul ke-516 Syekh Maulana Makhdum Ibrahim Sunan Bonang yang dilaksanakan di alun-alun Kabupaten Tuban, Jawa Timur pada 10 Juli 2025 kemarin, mengatakan bahwa pada zaman sekarang kita rawan menemui ulama palsu.
Maka dari itu, kita harus memperhatikan indikator seseorang bisa dikatakan sebagai ulama. Pada dasarnya, seseorang bisa dikatakan sebagai ulama bukan sekedar penguasaan dan wawasannya terhadap keilmuan agama Islam, melainkan juga pada aspek ibadah dan spiritualnya.
“Bukan hanya man lahu ilmun syamilun, bukan hanya kompetensi di bidang keilmuan saja, bukan sekedar pinter saja, tapi juga harus ‘arifun bimashalihi man haula, bukan hanya alim tapi juga harus abid, arif, ya alim ya ahli ibadah ya ahli makrifat. Kalau standar ukuran ulama itu yang pintar dan wawasannya luas, maaf, mungkin yang paling berhak dan layak menyandang gelar ulama adalah Fadhilatul Mukarrom Syekh Google Radhiyallahu’anhu.” Abah Anza menjelaskan.
Abid (ahli ibadah) dan juga arif atau bijaksana menjadi hal yang tidak bisa lepas dari identitas ulama. Jika seseorang hanya mengandalkan kealiman saja, maka telah jelas bahwa software komputer maupun Google lebih berhak dikatakan alim-secara tidak langsung juga paling berhak mengaku ulama.
Ulama Kanan dan Ulama Kiri
Dalam penegasan terhadap penjelasan indikator ulama yang disebutkan di atas, Abah Anza menambahkan penjelasan dengan istilah ulama kanan dan ulama kiri. Jika mendengar istilah kanan-kiri ini mungkin sebagian dari kita terpikirkan dengan istilah radikal-liberal. Namun, sebenarnya istilah kanan-kiri yang disampaikan oleh Abah Anza ini tidak menuju pada radikal-liberal, melainkan pada aspek kualifikasi literatur.
Ulama kanan dikonotasikan sebagai ulama yang menguasai literatur berbahasa Arab atau dalam konteks pesantren biasanya berbentuk kitab salaf atau kitab kuning. Membaca literatur Arab tersebut arahnya dari kanan, itulah mengapa dikatakan ulama kanan. Abah Anza menjelaskan:
“Saya sering bilang bahwa Ustaz, Kiai, Ulama dulu itu Masyaallah, kalau saya menjuluki itu Kiai Kanan. Sekarang ini banyak Kiai Kiri, Anda harus milih Kiai yang kanan. Maksudnya Kiai Kanan itu bisa membaca dari arah kanan (literatur Arab), baca Qur’an dari arah kanan, tafsir hadis dari kanan, kitab-kitab salaf dari arah kanan. Insyaallah itu sudah matang disiplin keilmuannya, nahwu, sharaf, ushul fikih, qawaidul fiqhiyah, musthalah hadis, ‘ulumul Qur’an, manthiq, balaghah, sudah matang.”
Sebaliknya, ulama kiri dikonotasikan sebagai orang yang diklaim atau mengklaim sebagai ulama namun tidak memiliki kemampuan dalam penguasaan literatur bahasa Arab, tidak bisa membaca kitab salaf yang mana kitab salaf adalah rujukan utama dari keilmuan Islam itu sendiri.
Biasanya orang yang tidak bisa membaca literatur Arab akan menggunakan terjemah bahasa Indonesia yang mana bahasa Indonesia dibaca dari arah kiri, itulah mengapa dikatakan ulama kiri.
“Kalau Kiai kiri, itu tidak bisa baca dari arah kanan, membacanya dari arah kiri, biasanya yang dibaca terjemah, sekarang ini banyak terjemah yang agak ngawur.” Abah Anza menambahkan.
Sebenarnya membaca terjemah tidak masalah jika sekedar digunakan sebagai pembantu, menjadi masalah adalah ketika menggunakannya sebagai referensi utama tanpa mengkomparasikan dengan teks aslinya lalu mengklaim sudah paham secara utuh. Hal itu berbahaya dikarenakan tidak semua terjemahan bisa mewakili keaslian teks, bahkan sebagian versi cetak rawan terhadap bias interpretasi penerjemah sendiri yang mana itu kurang akurat.
Membaca Literatur Arab Bagi Ulama
Mungkin dari penjelasan Abah Anza tersebut muncul rasa penasaran bahwa kenapa ulama harus bisa membaca kitab berbahasa Arab. Dalam hal ini penulis berusaha menjelaskan secara sederhana.
Kesatu, hal itu dikarenakan sumber utama Islam berupa Al-Qur’an dan Sunnah menggunakan bahasa Arab.
Pemahaman terhadap teks Al-Qur’an dan Sunnah tidak bisa dicapai secara maksimal, jangankan maksimal, setengah pun bisa jadi tidak sampai, tanpa penguasaan bahasa Arab, dikarenakan satu kata dalam bahasa Arab bisa memiliki makna yang berbeda-beda jika diterjemahkan ke dalam bahasa lain.
Kedua, keilmuan Islam pada periode awal berkembang di daerah berbahasa Arab sehingga banyak kitab-kitab rujukan utama menggunakan bahasa Arab, dan beberapa belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Wallahu A’lam…
Penulis: Izzulhaq At Thoyyibi