ArtikelFeature & FigurTOKOH

Ismail Fajrie dan Tsamara Amany, Menimbang Tuduhan Elitis di NU

Tuban, PCNU Online
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi Islam yang didirikan dan digerakkan oleh ulama-ulama Aswaja, yang didominasi dari kalangan ulama kampung, maksudnya adalah kalangan ulama yang masih melakukan tradisi ilmiah dan amaliah tradisional. Namun, bukan berarti kita menafikan peran ulama dan cendekiawan modern yang berkecimpung di NU.

Sebagai organisasi yang besar, tentu NU sering menjadi objek pembahasan dari berbagai elemen masyarakat. Termasuk darinya, berupa kajian dan analisis yang kemudian menghasilkan kritik. Tentu kritik-kritik banyak yang membangun dan membantu NU dalam berkembang. Namun di satu sisi, adakalanya kritik itu tidak berdasarkan realita yang terjadi, sehingga alih-alih berupa kritik, yang terjadi justru terkesan sebagai tuduhan belaka.

Salah satu kritik yang sering dinisbatkan pada NU adalah tuduhan maraknya elitis di kultur NU. Tokoh-tokoh NU, terutama Kiai, disebut sebagai elitis atau feodalis karena banyak masyarakat yang menghormatinya.

Pertanyaannya, apakah kritik tersebut benar-benar selaras dengan realita NU?

Topik ini dibicarakan oleh seorang antropolog asal Indonesia yang bekerja di New York University, Ismail Fajrie Alatas (Aji) dan istrinya, Tsamara Amany Alatas. Mereka berdua membahasnya di kanal Youtube, “Tsamara & The Professor” dalam video berjudul “NU Jauh Dari Kata Elitis”.

NU Lebih Luas Dari Sekadar Organisasi

Beberapa orang mengira bahwa NU itu terbatas pada organisasi struktural. Sehingga sebagian dari mereka menyangka bahwa tokoh NU itu sebagaimana pengurus yang ada di PBNU, yang notabene banyak yang dari kalangan menengah atas, baik secara sosial maupun ekonomi.

Menurut Aji dan Tsamara, jika kita memandang NU, kita harus memandang NU lebih luas. Kita tidak bisa memandangnya hanya dari struktural organisasi saja.

Aji mengatakan “Ada bahaya pada saat kita mereduksi sebuah fenomena sosial atau sebuah kelompok masyarakat itu hanya melalui organisasi saja. Organisasi ini hanya satu bagian dari realitas sosial”.

Kultur NU ini realitanya lebih dari sekadar organisasi, tetapi juga pesantren, langgar (musala) kampung, tarekat, dan tentunya berbagai gerakan sosial dan pendidikan lainnya.

Tokoh NU Terbuka Dengan Masyarakat

Ada suatu anggapan bahwa tokoh NU, terutama Kiai, sebagai elitis, tidak merakyat, dan memiliki kasta lebih tinggi di masyarakat.

Tuduhan semacam ini menurut Aji dan Tsamara tidak sesuai dengan realita yang terjadi di kultur NU.

Tsamara menceritakan bahwa suatu waktu dia berkunjung di PP Raudlatut Thalibin Rembang, pesantren yang diasuh oleh 2 tokoh besar NU, KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) dan KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya).

Dari yang penulis tangkap, Tsamara mendapatkan 2 fenomena yang bertentangan dengan tuduhan tersebut.

Pertama, saat dia berkunjung kebetulan bersamaan dengan adanya pelatihan kader GP Ansor, pelatihan kader GP Ansor ini tidak eksklusif untuk orang kelas tertentu, pelatihan ini bersifat egaliter, di mana perekrutan terbuka tidak hanya untuk kalangan elite sosial dan ekonomi, tetapi juga untuk kalangan bawah. Mereka semua di posisi yang setara.

Kedua, Tsamara melihat betapa terbukanya Gus Mus dan Gus Yahya dalam menerima tamu.

“Waktu itu rumahnya Gus Mus, rumahnya Gus Yahya terbuka lebar gitu. Siapa pun gitu, orang biasa, Ansor, aku waktu itu juga bukan siapa-siapa ya diterima dengan baik oleh Gus Mus dan Gus Yahya,” tutur Tsamara.

Keterbukaan Kiai terhadap masyarakat ini menjadikan banyak masyarakat merasa dekat. Oleh karenanya, banyak masyarakat yang berkunjung ke Kiai untuk konsultasi, meminta doa, meminta saran nama anak, dan sebagainya.

Kemudian, realita yang memperkuat bahwa para Kiai terbuka dan tidak memiliki kasta khusus ini adalah, banyak rumah Kiai beserta pesantrennya ini satu kompleks dengan masyarakat. Karena memang para Kiai NU ini bagian dari masyarakat itu sendiri.

Adapun ketika ada masyarakat menghormati Kiai lebih dari yang lain, itu atas keinginan dari masyarakat sendiri, bukan atas paksaan atau permintaan dari Kiai. Kalaupun ada tokoh agama yang meminta dan memaksa, maka itu adalah oknum yang serampangan, tidak bisa dijadikan dasar untuk menilai NU secara luas.

Kepedulian Tokoh NU Terhadap Pendidikan Rakyat Kecil

Pendidikan sebagai hal yang utama dalam kehidupan, juga termasuk bagian dari Maqashid al-Syari’ah (tujuan kehadiran syariat), hifzh al-‘aql, terkadang sulit didapatkan secara layak oleh sebagian masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi.

Aji mengatakan, “Para Kiai itu bekerja keras untuk menghidupi pesantren.”

Maka dari itu, beberapa Kiai berusaha mengatasi problematika ini dengan membangun mereka untuk mendapatkan pendidikan, baik itu lewat pesantren ataupun lewat majelis taklim.

Manifestasi Sabda Nabi

Menurut Aji, para Kiai NU dan tokoh masyarakat lainnya khususnya di daerah, adalah manifestasi dari sabda Nabi:

سيد القوم في السفر خادمهم

Artinya: “Pemimpin suatu kaum dalam perjalanan adalah pelayan mereka.” (Syu’ab al-Iman karya Abu Bakr al-Baihaqi, hadis 8051)

Maka dari itu, tidak heran jika mereka banyak beraktivitas untuk melayani masyarakat. Wallahua’lam.

Penulis: Izzulhaq At-Thoyyibi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button